"Itu bukan date,"
"Maksud gue, gue cuma nganter dia pulang."
"Intinya kalian lagi berdua,"
"Jadi gue nggak berpikir buat ganggu."
Otaknya memutar sekilas percakapan di beberapa menit yang lalu. Matanya terpaku pada satu titik di hadapannya, tembok putih polos tanpa apapun yang menarik perhatian.
Ardan mengusap wajahnya kasar dan langsung membanting tubuhnya kembali ke ranjang tidurnya. Apa yang baru saja ia katakan di luar tadi? Itu bukan date? Cuma nganter pulang? Kenapa rasanya aneh untuk jujur pada cewek itu? Siapa pun tahu Ardan menyukai Anjani, bahkan sebelum Sandra datang. Tapi mengapa semua hal itu buyar dalam sekejap?
Mengapa ia harus sekali untuk menjelaskan bahwa yang tadi sore bukanlah masalah? Padahal sejelas-jelasnya Sandra tahu bahwa hal tersebut memang bukanlah suatu hal yang besar. Sandra tahu dirinya menyukai Anjani. Setia orang tahu ia menyukai Anjani. Lalu apa masalahnya?
Semua bukan lagi mengenai kekhawatirannya pada Sandra. Bukan lagi tentang Sandra yang pulang sendiri, ban sepeda cewek itu yang bocor, ataupun cewek itu yang tak mengabarinya hingga sebegitunya ia khawatir. Tapi tentang reaksinya sendiri mengenai alasan Sandra pulang telat adalah menghampiri Bintang-lupakan soal ban bocor yang merupakan alasan utama-lalu sekembalinya cewek itu pulang ke rumah, kekhawatirannya dibalas dengan sikap cuek Sandra.
Dan Ardan merasa tak suka diperlakukan seperti itu. Kenapa cewek itu nggak membalasnya dengan baik-baik? Setidaknya merasa bersalah atas kekhawatirannya-meskipun dirinya juga ikut merasa bersalah karena Sandra tertimpa sial beruntun hari ini.
Tapi mengapa Ardan merasa bukanlah itu masalah sesungguhnya yang mulai mengganggu dirinya. Ia masih belum tahu jelas apa yang menghantuinya, dan mengapa semuanya terasa abu-abu?
Ardan mendesah pelan. Ia butuh pengalih perhatian. Dan dengan itu, cowok itu menarik ponsel dari meja kecil di sebelahnya, menyentuh layar dengan lihai sebelum mengetikkan sebaris pesan singkat seakan memanggil sebuah nama, berharap pengalihan perhatiannya bisa membantunya tidur nyenyak malam ini dengan melupakan segalanya dan bersikap seperti biasanya di esok hari.
Jani..
-o-
Sandra melepas salah satu earphone-nya dari telinga sambil berupaya menuntun sepedanya keluar dari pekarangan rumah ketika melihat Ardan melajukan motor mendekati tempatnya berdiri kali ini. Cewek itu berhenti sejenak, menatap dengan mata menyipit dan kernyitan di dahi, rambutnya yang dikuncir asal membuat beberapa anak rambut terhempas menerpa wajahnya. Merasa dingin, Sandra mengeratkan kembali cardigan abu-abunya ke badan sebelum benar-benar membelalakkan matanya sedikit karena Ardan sudah berhenti di depannya.
Cowok itu menaikkan kaca helmnya ke atas dan dengan sekali lirikkannya bisa membuat Sandra hampir terbuai, melupakan rasa kesalnya karena tadi malam. Membuang jauh-jauh pikirannya, cewek itu melipat kedua tangannya di depan dada.
"Bareng yuk? Balikin sepeda lo ke garasi sana."
Alisnya naik sebelah sebelum bertautan bingung. Sandra terdiam sejenak sebelum membalas, "emang lo nggak bareng sama Anjani?"
"Gue nggak mau lo pulang dengan sepeda bocor kayak kemarin," balas cowok itu, suaranya teredam busa helm.
"Yang gue tanya, emang lo nggak bareng sama Anjani?" ulang Sandra lagi, nadanya sedikit ketus.
Ardan langsung menatapnya ketika Sandra mengulang pertanyaannya kembali. "Udah naik aja, dia tau kita tetanggaan."
"Tapi yang namanya cewek pasti ada rasa cemburunya juga kali, Dan," balas Sandra pelan, namun tahu bahwa Ardan bisa mendengarnya. Ia merasa ada kalanya untuk menyerah sedikit, apalagi di kali ini. Cowok itu nggak seharusnya menawarkan tumpangan padanya, sementara statusnya sendiri sedang mengejar cewek lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Memories
Novela Juvenil[Published by Inari, 2018] Karena kebadungannya, Sandra harus pindah ke Bandung dan tinggal bersama neneknya yang strict abis. Pada hari pertama tinggal di rumah nenenya, tiba-tiba Sandra tersiram air oleh cowok tetangga. Cowok yang bernama Ardan i...