Sandra mengumpat berkali-kali selagi kakinya mengayuh kuat-kuat sepeda pink-nya menembus jalanan, matanya menelisik tiap gang yang ia lalui demi mencari sambil mengingat di kepalanya tentang gang mana yang menjadi jalan pintas tercepat sampai ke Aksara. Ia telat, dan beruntung, samar-samar otaknya masih mengingat bekal jalan yang Ardan berikan—saat cowok itu masih mengenakan sepedanya—ketika mereka pernah mengalami situasi yang sama dengan yang ia hadapi saat ini.
Ardan lagi... Sandra menghembuskan napasnya kasar diselingi pengambilan napas kembali karena sungguh membutuhkan asupan oksigen. Nggak tau harus masih merasa beruntung karena mengingat kejadian hampir telat bareng Ardan beberapa waktu yang lalu sehingga bisa menggunakan ingatannya kembali untuk di situasi genting ini, atau merasa kesal karena lagi-lagi ada nama Ardan yang muncul di kepalanya seakan-akan menjadi dewa penyelamatnya untuk saat ini.
Dan kejadian semalam samar-samar terputar kembali di kepalanya. Ketika ia pulang dari acara curhatannya dengan Bintang di Moccafé, dan menemukan Ardan duduk di teras rumahnya sendiri. Lalu, saat tahu ada yang mendekati, cowok itu bangkit dari duduknya dengan mata menyipit ke arah Sandra membuat mata mereka beradu. Sandra nggak tahu harus melakukan apa di saat itu, selain mencoba untuk nggak salah tingkah karena tatapan Ardan dari jauh dan mencoba menetralkan debaran jantungnya sebagai efek dari tatapan panjang cowok itu. Bahkan ketika ia mulai menguasai diri dengan mengalihkan pandangan dan buru-buru memasuki pekarangan rumah Oma hingga masuk ke dalam rumah sekalipun, Ardan masih memandangi rumah Oma. Sandra tahu itu ketika membiarkan rasa penasarannya bekerja dengan menyibakkan sedikit gorden jendela. Dan cowok itu memandang, dengan pandangan yang terlihat sedikit... sendu?
Sandra menghempaskan harapannya jauh-jauh. Apa yang lo harepin, San? Sendu-sendu kayak di novel, kalo cowok itu nggak rela lo masuk rumah gitu aja?
Nggak usah ngarep, tekannya dalam hati, dia udah punya Anjani, lanjutnya lagi yang malah membuatnya memutar bola matanya sendiri.
Seakan kembali pada kenyataan, Sandra langsung melirikkan matanya pada pergelangan tangannya yang terlilit jam tangan. Jam tujuh pagi lewat.... Nggak perlu orang pintar untuk mengartikan dia sudah telat! Cewek itu buru-buru mengayuhkan pedalnya secepat mungkin ketika melihat gerbang Aksara di pinggir jalan raya yang tak jauh dari tempatnya berada kini. Semoga aja masih dapet kesempatan..., ia merapalkannya dalam hati selagi melaju dengan kecepatan tinggi dan lantas berteriak nyaring ketika satpam Aksara berupaya menutup gerbang yang tadinya terbuka sempit.
"PAK, PAK! Jangan ditutup dulu!!!"
"Yah, si Eneng mah telat. Udah ada Pak Bakrie di sini," ucap si satpam paruh baya yang mengecilkan suara seperti bisikan bibir saat nama Pak Bakrie yang terkenal sok disiplin terucap. Sandra mendesah kasar, sia-sia deh ngayuh cepet-cepet sampe betis kenceng gini!
Sejurus kemudian, Pak Bakrie yang disebut-sebut barusan muncul dari balik pagar lengkap dengan setelan hitam-hitam bagaikan malaikat pencabut nyawa dan kumis yang sama hitam ditambah lebat. Memandang Sandra secara keseluruhan dari atas sampai bawah hingga bulir-bulir keringat yang muncul dari pelipis turun ke leher dan napasnya yang ngos-ngosan. "Kamu! Taruh sepedanya di situ, berdiri kamu di sini!" serunya sambil menunjuk-nunjuk Sandra. lalu memerintahkan si Satpam untuk membawa sepeda cewek itu ke parkiran.
Sandra mau nggak mau maju dan merelakan sepedanya dibawa begitu saja. Dengan melongokkan kepalanya sedikit ke lapangan, cewek itu tahu, ia akan berakhir sama seperti barisan para murid telat yang kini menengadah kepala sambil hormat di depan tiang bendera.
-o-
Ardan menghempaskan punggungnya ke kursi sambil membesarkan volume dari lagu yang kini terdengar di salah satu telinganya melalui earphone. Dan kebisingan kelas karena belum ada guru yang masuk membuatnya memasang satu earphone lainnya yang sebelumnya menganggur. Bukan kebisingan kelas yang sebenernya mengusik dirinya, namun pada apa yang berkali-kali ia lirik sedari tadi, kursi di sebelah Davina kosong. Kemana Sandra?
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Memories
Teen Fiction[Published by Inari, 2018] Karena kebadungannya, Sandra harus pindah ke Bandung dan tinggal bersama neneknya yang strict abis. Pada hari pertama tinggal di rumah nenenya, tiba-tiba Sandra tersiram air oleh cowok tetangga. Cowok yang bernama Ardan i...