"Betapa ku saat ini, kubenci untuk mencinta, mencintaimu." (Benci Untuk Mencinta - Naif)
---
"Bahwa... seharusnya ia tak berharap."
---
Teriknya sinar matahari yang semakin lama semakin memudar karena mendung tak membuat dua orang itu beranjak dari tempatnya. Mata Sandra berpendar ke sekelilingnya, hening sedari tadi hinggap di antara mereka berdua. Cewek itu tak sedikitpun membuka suara untuk bertanya apa yang mereka lakukan kini ataupun untuk apa mereka berada di sana pada Ardan yang kini duduk di atas ayunan yang mengayun pelan, sama seperti dirinya.Sepeda mereka terparkir di pinggir sana. Dan semenjak kakinya menginjak rerumputan di taman itu, otaknya ikut memutar ingatan tentang tempat apa dulunya taman tersebut.
"Ingat nggak, Cha, ini di mana?"
Pertanyaan Ardan membuat Sandra menelengkan kepalanya ke samping untuk menoleh pada cowok itu. Yang ia ingat, taman ini merupakan lapangan luas sebelumnya.
"Dulu kita main layangan di sini," lanjut Ardan.
Kini gantian Ardan yang menceritakan masa kecil mereka setelah Sandra mengingatkannya hal-hal yang dulu mereka lakukan untuk menghabiskan waktu di kebun strawberry sampai sore hingga membawa oleh-oleh sekotak strawberry segar, seperti tadi, dan kini kotak strawberry yang sama berada di pangkuan Sandra.
Sandra mengulum senyum lantas terkekeh. "Itu sih elo."
Ardan mengangguk-angguk. "Iya, lo paling nggak suka gue ajak ke sini, soalnya selalu ngeluh panas."
"Nyokap gue selalu bilang, kalo main jangan panas-panasan," balas Sandra. "Tapi lo juga ngeyel, nggak pernah dengerin kalo nyokap bilang jangan ajak gue main layangan."
Ardan tertawa kecil. "Takut nanti item kan?" tebaknya hingga Sandra tertawa namun mengangguk. "Kalo sekarang, masih nggak suka gue ajak ke sini?" tanyanya lagi.
Sandra mau tak mau tersenyum, tempat apapun kalau bersama Ardan, cewek itu tidak akan menolak. "Suka kok," jawabnya.
Dan pandangannya lagi-lagi menyapu segala sudut area di taman, bukan lagi lapangan yang ia lihat, melainkan taman luas dengan area bermain kecil ditengah-tengah dan dikelilingi rute jogging dan pohon-pohon rindang. Merupakan taman yang tak jauh dari kompleks rumahnya itu, taman sebagai fasilitas umum untuk siapa saja, dari yang muda sampai yang tua. Entah keberuntungan darimana, tak ada satupun orang yang singgah di taman tersebut selain yang berlalu lalang sambil berjalan kaki ataupun dengan sepeda dan sepeda motor—setidaknya, dengan bermain di ayunan kosong tersebut, mereka tak terlihat seperti para remaja yang kehilangan masa kecilnya, ditambah, hal tersebut semakin meyakinkan bahwa mereka benar-benar tinggal berdua.
Sandra hanya berharap bahwa ia bisa menyisihkan waktu lebih lama lagi, berharap hari minggu ini tak cepat berlalu.
Dan sementara Ardan meliriknya, tepat ketika terpaan angin mendung berhembus kencang membuat rambut Sandra berterbangan indah. Dirinya seakan tak bisa memalingkan wajah dari cewek yang tak menyadari tatapannya itu, bahkan ketika Sandra menggunakan jari-jarinya untuk menyelipkan sejuput rambut yang menghalangi pandangan, jarinya pun ikut gatal ingin mengganti peran tersebut.
Namun ia tahu, itu aneh, dan tidak mungkin. Sama halnya ketika ia membantu Sandra mencari sekop yang berakhir dengan menemukan sepeda pink yang kini bertengger di sebelah sepedanya. Pada saat itu pula Ardan ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang ia rasakan saat ini.
Ardan menikmati masa ini, sejujurnya. Dan seharusnya memang begitu, bercengkrama dan menghabiskan waktu bersama teman—tak peduli teman itu siapa, seharusnya memang menyenangkan. Namun, dirinya hanya akan menemukan kejanggalan jika segala hal teresebut berkaitan dengan Sandra, seperti sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Memories
Teen Fiction[Published by Inari, 2018] Karena kebadungannya, Sandra harus pindah ke Bandung dan tinggal bersama neneknya yang strict abis. Pada hari pertama tinggal di rumah nenenya, tiba-tiba Sandra tersiram air oleh cowok tetangga. Cowok yang bernama Ardan i...