0.5

115K 8.1K 281
                                    

Suara riuh kelas tiba-tiba terganti keheningan ketika seorang wanita masuk dengan menggedorkan penggaris kayu panjang. Tak ada lagi yang berlarian minta contekan, menggosip dengan kumpulan teman sepermainan, menggenjreng gitar dengan alunan merdu yang bertolak belakang dengan suara si penyanyi, semua itu terganti dengan suara ketukan hak sepatu sang wali kelas ketika memasuki kelas. Semua berhenti, buru-buru kembali ke kursinya masing-masing. Namun, mata mereka terpaku pada objek yang dibawa sang wali kelas ke dalam sana. Seorang cewek berambut cokelat gelap yang panjang hampir sepinggang, membawa tas punggung tipis yang membuat siapapun menerka-nerka berapa buku tulis yang cewek itu bawa; satu atau dua? Tiga? Bahkan angka tiga pun kurang meyakinkan.

Dan juga kakinya yang terbalut sepatu kets hitam yang kini mengetuk-ngetuk pelan di atas lantai putih. Tandanya sedikit gugup karena banyak pasang mata menatapnya, meskipun cewek ini sudah biasa menjadi satu diantara murid-murid yang menjadi pusat perhatian.

"Perhatian semuanya!" Sang wali kelas berteriak lantang, matanya melirik ke sana ke sini, "Danang! Handphone kamu taro dulu, atau Ibu ambil nanti!"

Sandra tergelak, hampir mundur beberapa langkah karena pekikan kesal wanita di sampingnya ini. Lalu matanya melirik cowok bernama Danang yang kini nyengir lebar dan buru-buru menaruh ponselnya kembali ke dalam saku seragam. Lalu, lirikannya berhenti pada sosok cowok yang duduk di sebelah Danang, dan matanya hampir melotot menyadari Ardan berada dalam kelas yang sama dengannya. Jadi, cowok itu juga teman sekelasnya?

"Perhatian semuanya!" teriak Bu Dian sekali lagi. "Kita kedatangan murid baru," ia melirik Sandra di sebelahnya, "namanya Alsandra, biasa dipanggil...."

"Sandra," tambah Sandra.

Bu Dian mengangguk-angguk. "Iya, kalian panggil dia Sandra," ucapnya. "Awas ya, Ibu nggak mau denger ada yang namanya bully-bullyan di kelas ini mentang-mentang Sandra anak baru!"

"Nggak kok Bu, cantik-cantik masa dibully sih," celetuk Danang.

Dan seketika saja Sandra tahu tipikal cowok seperti apa si Danang ini. Penggoda yang tengil, setipe dengan teman sebangkunya yang kini nyengir lebar.

"Dan nggak ada yang boleh ngegodain!" seru Bu Dian lagi yang kesal melihat tingkah Danang.

Sandra terkekeh pelan, apalagi ketika beberapa murid cowok yang terlihat dimatanya sebagai biang onar tiba-tiba berisik dengan seruan-seruan aneh dan siul-siulan nggak jelas. Sedikit risih sih, tapi Sandra bisa menyimpulkan bahwa kelas yang menjadi kelasnya ini merupakan kelas yang kompak.

"Davi, kamu pindah ke depan sini sama Maya! Biar Sandra yang duduk di situ."

"Davi yang mana Bu? Davi kan ada dua," celetuk si cowok yang Sandra asumsikan bernama Davi.

Bu Dian mendecak. "Davina selalu ibu Panggil Vina, nggak pernah ibu panggil Davi, kecuali KAMU! Udah cepetan pindah ke depan!"

Davi Memberengut. "Bu, kan bisa dia aja yang duduk di situ."

"Nggak ah, kamu di belakang situ berisik. Apalagi sederetan sama Danang sama Ardan. Biarin Vina duduk sama Sandra," tolak Bu Dian. "Cepetan maju! Bawa tas kamu sekalian."

"Atau enggak, Davina yang maju duduk sama Maya, biar Sandra-nya yang duduk sama saya di sini," balas Davi lagi, kini sambil nyengir songong. Hingga satu kelas melebarkan bibirnya dengan cengiran yang sama, dan suara tawa pun terdengar. Tak terkecuali Sandra, cewek itu mau nggak mau melepaskan senyum dan tawanya bersamaan dengan seisi satu kelas.

Bu Dian melotot. "DAVIAN!"

Akhirnya, cowok yang dipanggil Davi itu mau nggak mau maju dengan langkah malas-malasan sambil membawa tas kempesnya ke depan untuk duduk di sebelah Maya. Lalu menjatuhkan pantat di atas kursi kosong di sebelah si cewek berambut pendek sebahu itu. Dan hal yang biasa pula ketika melihat Davi mengedipkan sebelah matanya disertai sapaan tengil. "Hai Maya, cantik deh hari ini."

Childhood MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang