"Jadi.... Ekskul kamu di sekolah lama itu Theater?"
Sandra menggeleng. "Nggak."
Cewek di hadapannya mengernyit. "Terus?"
"Cheers," jawab Sandra enteng.
Seketika mulut cewek di hadapannya ini terbuka dengan pandangan yang agak melongo. Sandra menggigit bibirnya gemas lalu membuang napas keras yang jelas didengar oleh lawan bicaranya. Perasaannya sedari tadi tak karuan berdiri di hadapan cewek berambut hitam legam yang agak keriting, wajah manisnya yang sedari tadi memberikan senyum ramah sebelum berubah melongo seperti sekarang, kulit hitamnya manis yang bersih, tinggi yang tidak mencapai Sandra, dan badan kecilnya yang seketika membuat Sandra iri. Benar-benar deskripsian wanita-wanita muda yang ayu banget.
Atau singkatnya, Sandra kini tengah berhadapan dengan Anjani si ketua ekskul theater. Di depan ruang khusus latihan theater di jam istirahat ini, dengan perasaan menerkam yang menggebu-gebu kalau saja di antara mereka tidak ada meja yang menghalangi. Enggak deh, lebay banget kalau sampai mau nerkam segala. Intinya, ada rasa kesal yang muncul tiap kali melihat wajah ayu Anjani.
Ajani menampakkan kernyitan dahinya. "Apa yang buat kamu mau masuk theater? Maksudnya, dari cheerleader lalu berubah jadi theater...."
Sandra mengangkat bahunya. "Hm... cari sesuatu yang baru, mungkin. Emangnya kenapa? Gue nggak boleh masuk theater?" tanyanya dengan sedikit penekanan kata seakan balik mengintrogasi Anjani.
Anjani buru-buru menggeleng. "Enggak-enggak, bukan gitu. Semua bisa masuk theater, siapa aja. Aku Cuma nanya aja, kok," katanya, "ngomong-ngomong, kalo misalnya kamu diaudisi dulu—enggak, bukan audisi sih, semacam tampil di depan anak-anak theater lainnya, siap?"
Mulut Sandra membuka sedikit mendengar itu. "Harus?"
"Biasanya gitu. Nggak Cuma buat anak baru kok, bahkan di tahun ajaran baru pun, siapapun yang masuk theater seenggaknya dilihat batas kemampuannya sampai mana sebelum diasah lagi nantinya," jawab Anjani.
Sandra memandang Anjani dalam diam, yang masih dibalas dengan senyuman ramah yang terpancar sekaligus aura kecerdasan cewek itu sebagai ketua ekskul. Uh, sebel. "Siap," ucapnya selanjutnya dengan mantap.
Lalu Anjani tersenyum lebar. "Oke, kalau gitu kamu bisa isi data di sini," ucapnya sambil mengeluarkan sebuah note kecil dan pulpen dari laci meja. "Tulis nama kamu, kelas, sama nomor handphone."
Sandra mengangguk lantas menarik pulpen dan note tersebut, menuliskan apapun yang Anjani minta.
"Ngomong-ngomong, peran yang kamu suka apa?"
Sandra mengangkat kepala dengan sebelah alis terangkat, memandang Anjani dengan wajah berpikirnya sebelum mencetuskan satu peran favoritnya yang tiba-tiba terlintas ketika melihat wajah cewek itu. "Antagonis," jawabnya sambil meletakkan pulpen ke atas meja setelah selesai. Senyum lebar tercetak di wajahnya, dengan sedikit pandangan sinis pastinya. "Gue paling suka bagian bully-membully, siksa-menyiksa. Apalagi kalo protagonisnya elo. Bayangin deh kalo gue berperan untuk nyiksa lo...." lanjutnya menggantung.
Raut wajah Anjani tiba-tiba berubah dengan ujung bibir dan pipi yang berkedut, juga dahi yang mengernyit samar namun ketara bagi Sandra. Atau singkatnya, rautnya berubah jadi sedikit ngeri.
"Hahahaha! Ya enggak lah!" teriak Sandra lantang berserta tawanya yang cukup menggelegar. Ia berhenti sejenak, "gue cuma bercanda kok."
Seketika Anjani mengeluarkan tawanya, bukan tawa yang menggelegar seakan candaan Sandra lucu banget. Tapi, lebih cenderung kepaksa karena nggak ngerti candaan Sandra ini murni candaan atau malah bentuk sarkas cewek itu padanya. "Ha... ha... ha... ha...."
![](https://img.wattpad.com/cover/41564659-288-k26430.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Memories
Teen Fiction[Published by Inari, 2018] Karena kebadungannya, Sandra harus pindah ke Bandung dan tinggal bersama neneknya yang strict abis. Pada hari pertama tinggal di rumah nenenya, tiba-tiba Sandra tersiram air oleh cowok tetangga. Cowok yang bernama Ardan i...