Kaki-kakinya membawanya pada satu tujuan dengan tumpukan kertas yang dijilid menjadi sebuah buku di salah satu tangannya. Terpaan angin mengibaskan rambut keritingnya yang terlihat halus dan terawat tanpa perasaan risih jika saja rambutnya berantakan secara tiba-tiba. Dengan sekali melirik pergelangan tangannya yang dihiasi penanggal waktu, cewek itu menghembuskan napas, dirinya telat terlalu jauh dari waktu yang seharusnya.
Anjani berhenti tepat di depan ruang guru yang menjadi tujuannya kini, lalu matanya melirik ke dalam sebentar sekedar memastikan keberadaan guru yang ia cari. Dan atas dasar kesopanan, cewek ini mulai melangkahkan kakinya memasuki ruang guru.
"Anjani... Anjani... Anjani.... Ibu tungguin dari istirahat baru dibawain pulang sekolah," decakan muncul dengan menyebut-nyebut namanya ketika Anjani sampai di depan meja Bu Diana. Guru mata pelajaran ekonomi-nya itu mendongakkan kepala dari aktivitas mengisi daftar nilai sebelumnya, memandang Anjani dengan pandangan seakan hal barusan merupakan hal biasa. "Untung kamu pinter, kalo enggak—HEM," lanjutnya gemas, memberi gestur kepalan tangan erat seperti tinju sebagai tambahan dari ucapannya yang terputus.
Anjani meringis pelan sambil menampaknya wajah bersalahnya, setelah memberikan jilid tugas yang sedari tadi ia bawa-bawa. "Maaf ya, Bu, tadi saya—"
"Teater?"
Anjani nyengir mendengar itu, lalu mengeryit dengan raut menyesalnya lagi, sementara Bu Diana membuka satu-persatu lembaran jilid sembari mengecek. Sekilas, ia memperhatikan, namun di detik berikutnya, matanya iseng untuk menelusuri keseluruhan isi ruang guru. Dari meja-meja para guru yang berjejer di tiap sisinya, hingga pada beberapa guru yang mengobrol dan beberapa lagi sibuk dengan murid yang mencari mereka. Seperti, ketika matanya kembali secara tak sengaja menemukan seseorang juga menatapnya dari arah lain selagi orang itu berbincang entah mengenai apa dengan salah satu guru di dalam sana.
Dan ketika sadar Anjani juga menatapnya, Ardan menampakkan senyumannya.
Mau tak mau Anjani ikut tersenyum—yang selalu terlihat manis. Bertemu cowok itu lagi merupakan satu hal yang cukup menyenangkan.
"Kamu jangan terlalu sibuk di teater, Jan, kalo jadinya malah keteteran tugas begini," saran Bu Diana, lalu melirik tugas Anjani sambil menutup sampulnya kembali. "Saya bawa dulu, nanti saya cek. Kalo masih ada yang kurang, nanti saya balikin ke kamu buat direvisi lagi."
Anjani mengangguk pelan, kembali menatap ke bawah lagi—karena Bu Diana duduk di hadapannya. "Iya, makasih ya Bu. Maaf telat banget," ucapnya dengan permintaan maafnya sekali lagi, tangannya mengulur meminta salam.
Dan Bu Diana menerima ketika Anjani menyalami telapak tangannya. "Inget, dahuluin pelajaran kamu. jangan sampai nilai kamu minus semua karena telat ngumpulin," sarannya lagi.
Anjani nyengir. "Pasti kok, Bu, nggak akan begini lagi," balasnya. "Ya udah kalo gitu, saya pamit, mau pulang."
"Ah, kamu mah ngomongnya doang. Ujung-ujungannya teater lagi, teater lagi," dumel Bu Diana, lirikan matanya meledek Anjani. Namun malah membuat cewek itu tersenyum lebih lebar lagi sebelum benar-benar melangkahkan kakinya menjauh dari sana dengan niatnya untuk benar-benar keluar dari ruang guru.
Namun, sebelum itu, Anjani menyempatkan dirinya sekali lagi untuk menelisik isi ruang guru, terlebih pada tempat terakhir dimana ia menemukan Ardan berdiri di hadapan salah satu guru di sana. Tapi, ia menghela napasnya sedikit kecewa ketika tak menemukan cowok itu di bagian manapun dari ruang guru. Akhirnya, Anjani benar-benar melangkah keluar dari ruangan itu.
"Hai."
Sapaan barusan secara spontan membut Anjani berhenti melangkah, ia berdiri tepat di depan ruang guru dengan hadap ke luar. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kini untuk mencari sumber suara yang terasa dekat dan terasa tertuju untuk dirinya. Lalu, ketika berbalik, cewek ini sadar akan seseorang yang tersenyum dengan senyuman khasnya, dengan seragamnya yang berantakan seperti biasa—kemeja putih yang tak sepenuhnya dimasukkan ke dalam celana, hanya bagian depannya saja yang berada di dalam celana, yang seratus persen diyakini bahwa kemeja tersebut dimasukkan hanya karena akan menghadapai seorang guru seperti tadi, dan itu pun masih terbilang berantakan—dan rambut acak-acakannya yang sialnya keren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Memories
Teen Fiction[Published by Inari, 2018] Karena kebadungannya, Sandra harus pindah ke Bandung dan tinggal bersama neneknya yang strict abis. Pada hari pertama tinggal di rumah nenenya, tiba-tiba Sandra tersiram air oleh cowok tetangga. Cowok yang bernama Ardan i...