1.4

85.6K 6.7K 807
                                    

"Bintang ini temen SMP gue,"

Begitu ucapan Ardan yang meluncur di kala kebingungan yang Sandra rasakan. Lalu selanjutnya, ketika cewek itu menoleh untuk meminta penjelasan lebih lanjut dari Bintang, cowok itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum membenarkan.

Mulutnya membuka sebentar sebelum kembali menutup karena rasa kaget sekaligus keanehan atas segalanya. Sandra tak pernah membayangkan hal-hal seperti ini terjadi, kenal dengan orang-orang dari tempat lain dan menemukan orang-orang tersebut kenal satu sama lain tanpa sepengetahuannya. Dan dalam kasus kali ini, dirinya bagaikan orang baru dalam satu lingkungan, meskipun memang kenyataannya adalah begitu—Sandra baru tinggal di Bandung, dan semua kemungkinan pasti akan terjadi.

Tapi, dari berjuta-juta populasi manusia di Indonesia ini, atau tepatnya Bandung, kenapa harus Ardan dan Bintang yang mengenal satu sama lain? Terlebih, teman semasa SMP. Yang artinya Ardan dan Bintang sudah saling mengenal bahkan sebelum Sandra menginjakkan kakinya di kota yang dikenal dengan Paris Van Java itu dengan tujuan menetapnya.

Namun, sekali lagi dikatakan, semua kemungkinan pasti akan terjadi.

Mereka bertiga kini berada dalam satu meja yang terletak di pinggir ruangan dekat jendela, terlebih Sandra, hingga ketika dirinya menolehkan kepala, matanya langsung disambut oleh jalan raya dengan mobil dan motor yang berlalu lalang.

Bintang dengan seragam Moccafé seperti biasa namun kali ini tanpa apron cokelatnya, dan Ardan juga dirinya yang sama-sama masih mengenakan seragam khas SMA berbadge Aksara. Bertukar topik tentang masa SMP Ardan dan Bintang, dan Sandra mendengarkannya dengan seksama. Mereka terlihat dekat tentu, seakan telah lama tak bercengkrama seperti itu.

"Ngomong-ngomong gimana ceritanya lo bisa kenal sama Bintang, Cha?"

Pertanyaan Ardan membuat Sandra menolehkan kepala. Berupaya menjawab seadanya namun tertahan ketika mendengar ucapan lain dalam intonasi keheranan.

"Cha?" Bintang menaikkan alisnya dengan sedikit kerutan.

Sandra melirik Ardan sebentar, lalu menyembulkan senyumnya. "Ardan temen kecil gue, nggak Cuma di SMA ini ataupun tetangga satu kompleks. Jadi, dia salah satu orang yang manggil gue pake nama kecil, Acha."

"Acha?" tanya Bintang lagi terlihat sedikit antusias, alisnya naik kembali.

"Iya," balas Ardan. "Cukup soal gue sama Sandra. kalian berdua, kenapa bisa kenal?" tanya Ardan lagi dengan penasaran.

"Acha lo ini pelanggan gue," jawab Bintang, senyum geli masih tercetak di wajahnya.

Rasa geli menggelenyar di dadanya ketika Bintang mengatakan itu. Bukan tentang bagaimana cara cowok itu mengatakan, namun tentang bagaimana kalimat itu didengar, urutannya, maknanya.

Acha lo...

"Apa sih, lo. Gue masih tetep dengan pendirian meskipun Sandra tipe yang menggoyahkan."

Tawa terdengar setelah itu, entah dari Ardan maupun Bintang. Namun Sandra, cewek itu terdiam atas kalimat barusan yang meluncur dari bibir Ardan, mencerna mengenai makna kalimat dan menyadari sesuatu serasa menohok jantungnya secara tiba-tiba.

Harusnya hal tersebut termasuk lucu, buktinya kedua cowok itu tertawa. Ini bukan persoalan mengenai candaan para cowok yang kadang suka tak sesuai logis para cewek, terlalu menyinggung atau apapun semacamnya. Tapi yang kali ini, terlalu menohok, terlalu sesak, terlalu.... Sandra bisa menebak bagaimana pembicaraan ini akan berlanjut, topik apa yang akan dibicarakan...

"Gimana Anjani?" tanya Bintang, tawanya mereda menjadi kekehan.

Ini tentang cewek itu, Anjani.

Sandra menarik napasnya perlahan dan menghembuskannya pelan-pelan, lalu melirik kedua cowok itu satu persatu. Jadi, Bintang juga mengenal Anjani?

Childhood MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang