Wajah cemberut, pandangan sesekali pada jalanan lalu pada ponsel, ngecekin profil mantan.
Itu yang Sandra lakukan selain menyumpal telinganya dengan earphone disertai lantunan lagu-lagu yang bahkan tak ia pedulikan. Beberapa jam perjalanan Jakarta-Bandung, Sandra memilih memojokkan diri dekat pintu mobil, bersender sambil memperhatikan jalan raya di sekitarnya yang terasa mengitarinya hingga tiba-tiba cuaca berubah mendung berawan dan hujan deras lalu berubah menjadi gerimis rintik seperti sekarang.
Cewek itu sibuk menyapukan jari-jari lentiknya yang berkuku bersih tanpa polesan apapun itu ke jendela, menghapus embun yang beberapa saat kemudian kembali datang, begitu terus, sampai bosan dan kembali lagi ke ponselnya.
Bandung. Sandra punya deskripsian lain tentang kota yang satu itu. Sebagai kota yang secara terpaksa menjadi tempat tinggalnya, tanpa bantahan. Pikiran-pikirannya mengenai ia bisa bernegosiasi pada ayahnya untuk membatalkan perihal tersebut, ternyata benar-benar di luar dugaan. Cewek itu tak bisa barang sedikitpun merayu ayahnya untuk membiarkannya tetap tinggal. Dan Sandra pun tak bisa apa-apa selain menuruti.
Dan di sinilah dirinya berada sekarang, dalam sebuah mobil berisikan setiap anggota keluarganya, serta dalam perjalanan menuju Bandung.
"Kita sampai!"
Sandra terkesiap, ia mempause lagunya ketika mendengar itu.Kepalanya terangkat untuk melirik ke luar mobil dan ia mendesah karena ternyata ucapan ayahnya barusan itu benar. Di hadapan mereka tengah berdiri kokoh rumah sederhana bercat putih namun tetap terlihat terawat.
"Heh! Cepet turun, bawain koper lo tuh, baju lo semua isinya!" teriak Rio dari luar mobil.
Sandra mendecak kecil. "Iya-iya bawel ish," jawabnya malas, tangannya menarik kedua earphone dari telinga lantas memasukkannya ke dalam kantong jaket sekaligus ponselnya. Cewek itu menjajakkan kakinya keluar dari mobil dan mendesah sebal ketika merasa becek air hujan merembas memasuki sepatunya yang berbahan kain.
"Ya ampun cucu Oma udah pada dateng, sini-sini peluk dulu Oma kangen udah lama nggak ketemu!!"
Sandra memutar bola matanya dalam hati, merutuk dalam batin, mulutnya hampir mengucap kata sial. Dan lebih sialnya lagi hidupnya kedepan akan bersama wanita tua enerjik yang kini berjalan cepat menghampirinya dan Ario yang sedang berupaya mengangkut koper-koper, hingga satu pelukan kencang menghantamnya bagaikan kesialan yang lain, dan cium pipi kanan-kiri membuatnya meringis risih.
"Gimana tadi di jalan, macet nggak?" tanya Oma Dina, tangannya masih setia merangkul pundak Sandra, sementara cewek itu hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Lumayan, jadi lebih lama dari biasanya," jawaban Mariana membuat Oma Dina melepaskan pelukannya, beralih untuk memeluk ibu kandung dari Sandra itu.
"Kamu gemukan kayaknya ya, Na," ucapnya tiba-tiba dengan mata memandang Mariana dari atas hingga bawah. Lalu pandangannya melayang pada Sandra, matanya menyipit. "Malah jadi Acha yang kurusan. Kamu kasih makan apa anak kamu jadi ceking gitu?"
Sandra hampir melotot mendengarnya, ia memandang tubuhnya sendiri dan merasa bahwa dirinya masih dalam kategori ideal, nggak kurus, nggak gemuk. Dan dia nggak ceking!
"Tanyain 'apa kabar' tuh sama Oma kamu! Jangan diem aja, bentar lagi kamu tinggal sama Oma lho!" ucap Damar, celetukkannya dengan sedikit ledekkan membuat Sandra mendengus kecil, dan Rio yang mendengarnya malah tertawa.
"Hai Oma," sapanya malas-malasan yang jauh dari pertanyaan mengenai kabar wanita itu.
Oma Dina meliriknya, dengan mata menyipit, bibirnya membentuk segaris tipis mendatar, dan sedetik kemudian ringisan kesakitan Sandra muncul ketika ia mencubit pinggang cucunya itu. "Kamu ya, songong! Sama orang tua nggak boleh begitu!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Memories
Teen Fiction[Published by Inari, 2018] Karena kebadungannya, Sandra harus pindah ke Bandung dan tinggal bersama neneknya yang strict abis. Pada hari pertama tinggal di rumah nenenya, tiba-tiba Sandra tersiram air oleh cowok tetangga. Cowok yang bernama Ardan i...