perceraian {1}

12 3 0
                                    

Zira sedang duduk termenung di samping tempat tidurnya, dia berpikir bahwa semua ini hanya lah mimpi, dia meyakinkan dirinya sendiri jika ini bukan lah semua takdir hidupnya.

“Kak, sudah siap?” tanya Depa dari luar kamar Zira.

“Nanti Zira nyusul.” Ucap Zira tanpa membukakan pintu kamarnya.

“Yasudah jangan datang terlambat.” Jawab Depa.

Zira bangun dari duduknya, melihat figura kecil di samping meja belajarnya, poto bersama kedua orang tuanya. Dari sejak kecil hingga besar Zira selalu mempunyai momen poto dengan kedua orang tuanya. Setelah menghadiri acara ini momen itu akan sulit bagi zira lakukan lagi.

Satu pesan membuat Zira menghapus air matanya dan melihat isi dari pesan itu, ternyata Azka sudah ada di bawah untuk menjemputnya.

“Are you oke?” tanya Azka saat Zira datang dan masuk ke dalam mobil milik Azka dengan mata yang sembab.

“I’m oke, no problem.” Jawab Zira.

Azka mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, sampai di salah satu lokasi mereka berdua masuk ke dalam ruangan yang sudah di tunjukan. Sedikit telat karena jalanan yang macet, membuat Zira dan Azka masuk dengan keadaan yang sunyi.

“Dengan ini, saya putuskan bahwa hak asuh anak yang ber-nama Elzira Marvelio jatuh kepada Ibu kandung yang ber-nama Nazella  .” Ucap sang hakim saat Zira masih di ambang pintu ruangan bersama Azka.

“Dengan ini saya akhiri, terima kasih.” Hakim tersebut berjalan keluar meninggalkan area siding.

Beberapa orang menangis menguatkan Zella, termasuk bunda dari Azka itu yang sejak tadi terus terisak. Mereka semua menghampiri Zella, terkecuali sang ayah yang menghampiri Depa.

Zira yang masih mematung berlari keluar dengan air mata yang sudah dia tahan sejak tadi, bagaimana pun tidak ada yang ingin seorang anak yang terpisah dari kedua orang tuanya, tidak ada anak yang ingin hidup tanpa keluarga yang hangat.

“Gue benci kenapa gue harus di lahirkan.” Batin Zira.

“ZIRA…” teriak Azka menyusul Zira yang sudah masuk ke dalam lift. Tidak mau menunggu lama Azka menuruni tangga agar bisa cepat menyusul Zira. Saat di dalam lift Zira menghubungi salah satu temannya dan memintanya untuk menyusulnya dengan segera.

Mereka yang berada di dalam ruangan siding itu sontak membalikan badan mendengar Azka yang berteriak. Geva juga ikut menyusul Zira. Namun tiba di lantai dasar Zira sudah tidak ada di sana.

“Ha… ha… ha.. ma..na.. zira?” tanya Azka sambil mengatur nafasnya.

“Gak ketemu.” Jawab Geva.

“KemanaZira?” tanya Depa yang baru saja keluar dari lift.

“Maaf om, gak ketemu.” Ucap Geva.

“Lacak semua GPS nya.” Pinta Depa pada Geva.

“Jangan jadiin anak gue alat, buat selalu tau keberadaan Zira. Biarin Zira bebas pergi gak perlu selalu lo pasang alat di setiap barang yang dia punya. Gue gak akan setuju kalau lo jadiin anak gue sebagai alat supaya Zira selalu aman.” Ucap Cleo.

“Dari kejadian kemarin gue gak akan pernah biarin Geva buat jadi alat lo lagi, lo takut Zira kenapa-kenapa tanpa mikirin keselamatan anak gue.” Ucap Cleo lagi.

“AYAH!!” setak Geva.

“DIAM KAMU. SEKARANG MASUK MOBIL DAN GAK USAH IKUT CAMPUR LAGI SOAL ZIRA.” Ucap Cleo dengan nada yang tinggi.

“Sabar, jangan di bawa emosi terus.” Ucap Annya mengelus tangan suaminya.

“Tapi, Yah. Zira sahabat Geva. Geva gak mau terjadi apapun sama Zira. Ini bukan karena perintah dari om Depa. Tapi ini kemauan Geva sendiri.” Ucap Geva menatap wajah ayahnya yang sudah merah penuh emosi.

𝒜 𝒵 𝒵  𝑅 𝒜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang