25. Sebuah kejujuran

156 23 5
                                    


.
.
.
.
.
"Aku tanya sekali lagi mbok, apa hubungan mu sama Adara?"

Ucapan Igel yang terkesan dingin membuat semua pegawai cafe tertegun, Rion bahkan sudah menatap Vania dengan tajam.

"Lepasin!" Igel melepaskan cekalan tangan nya dari Vania saat wanita itu menarik tangannya.

"Jadi selama ini kalian tinggal di pare?" Igel menatap tidak suka pada kakak angkat nya itu.

"Mbok belum jawab pertanyaan ku tadi, aku harus tanya berapa kali sampai mbok jawab." Vania menatap Adara yang tetap berada di dekapan Rion.

Vania menghela nafas panjang, tujuannya datang ke pare adalah untuk meminta uang pada Adara. Dia harus pulang ke bali karena ibu dari Orion baru saja meninggal tadi pagi, itulah kenapa Vania nekat datang ke pare, namun yang dia temukan bukan hanya Adara tapi juga adik angkatnya dan cinta pertamanya.

"Orion." Orion segera menarik Adara mundur saat Vania menatapnya. Hal itu jelas membuat Adara menatap bingung pada Orion juga Igel.

"Kalian kenal sama mama om?" Pertanyaan Adara membuat Orion menatap gadis itu tidak percaya.

"M-mama? Dia mama kamu?" Adara mengangguk.

"Apa itu benar mbok? Adara anak mbok?" Igel kembali menatap lekat pada Vania, membuat wanita itu menghela nafas panjang.

"Ya, dia anak ku, anak angkat ku." Vania mengalihkan tatapannya dari Igel.

"Dia anak kalian yang diambil ibuk."

Deg

Kalimat yang kembali di ucapkan oleh Vania membuat Igel dan Rion terpaku, mereka terdiam mendengar kenyataan yang baru saja mereka terima.

"Adara anak ku sama Igel? Mbok gak bohong kan?" Vania menggeleng.

"Ara anak ku?" Rion dengan cepat kembali mendekap Adara, sedangkan gadis itu hanya terdiam karena masih terkejut dengan ucapan Vania.

"Maksud mbok apa?" Vania menatap lekat pada Rion dan Adara.

"Adara anak kalian, anak yang ingin ibuk bunuh dulu." Rion menatap Adara lekat,

"Jelasin semua nya mbok! Kenapa anak kami bisa ada sama mbok?!" Vania mengangguk.

Setelahnya Igel meminta Vania duduk di salah satu meja, sedangkan yang lain hanya berdiri di sekitar mereka, termasuk Rion yang tidak mau melepaskan Adara dari pelukan nya.

"Aku yang bawa bayi itu pergi begitu dokter yang bantuin ibuk bawa bayi itu ke rumah sakit, tentu aja tanpa sepengetahuan ibuk." Vania memulai ceritanya sambil menatap Igel.

"Dokter itu ikut andil dalam nyembunyiin Adara dari ibuk, sampai umur Adara sepuluh tahun. Waktu aku ngunjungi ibuk, ibuk ternyata tau kalau selama ini anak kalian aku yang jaga, aku gak sejahat itu buat ngebunuh bayi yang gak tau apa pun." Igel mengepalkan tangannya erat, rasa marah nya pada sang ibu mertua kembali muncul ke permukaan.

"Terus kenapa mbok gak langsung kasih tau kita? Paling gak mbok bisa bilang ke papa atau ayah!" Vania menggeleng.

"Setelah pernikahan papa dan ayah, kalian juga pergi dari bali. Aku gak bisa bilang ke papa karena papa masih marah sama aku, jadi aku terpaksa bawa Adara ke surabaya sampai akhirnya aku nikah sama suami ku yang sekarang." Vania menatap Adara yang hanya diam.

"Waktu itu aku udah mau bilang ke Rion pas gak sengaja ketemu di jimbaran, tapi Rion keburu pergi." Ingatan Rion kembali pada saat bertahun-tahun lalu, saat Ares mengajak mereka semua ke bali.

"Terus kenapa sekarang mbok kesini dan minta uang ke Adara?!" Vania menghela nafas panjang.

"Aku minta uang ke Adara karena aku juga mau ajak Adara ke bali." Igel mengernyit.

"Gak, Adara gak akan ke bali! Dia gak akan kemana-mana!" Vania menatap Rion tidak percaya.

"Tapi-"

"Gak mbok! Setelah ini Adara akan tinggal sama aku sama Igel, Adara gak akan kemana-mana! Anak ku gak boleh pergi lagi!" Adara mengelus tangan Rion yang gemetar, meskipun dia sendiri belum sepenuhnya percaya.

"Rion, ibuk meninggal tadi pagi, itu kenapa aku mau ajak Adara ke bali." Rion dan Igel terkejut, padahal baru siang tadi dia dan Rion membahas soal ibuk mereka itu.

"Mbok pasti bohong!" Vania menggeleng.

"Aku gak mungkin bohong soal itu, ayo ke bali Yon, ibuk butuh anak kandung nya."
.
.
.
.
.
Adara tidak menyangka jika malam itu mereka semua akan terbang dari surabaya ke bali, dengan Rion yang tidak mau melepaskan nya dan tetap menggenggam tangannya erat.

Adara mungkin masih tidak percaya, tapi dia tidak bodoh untuk mengetahui jika Rion dan Igel adalah orang tua kandung nya. Sama persis dengan apa yang di ceritakan oleh Vania padanya selama ini, jika kedua orang tuanya adalah laki-laki.

Adara menatap Rion yang tengah terlelap di sebelahnya, lelaki yang akhirnya dia ketahui sebagai ayahnya itu adalah orang yang telah melahirkannya ke dunia ini.

"Ayah." Adara memanggil Rion pelan, lelaki itu sendiri yang meminta Adara untuk merubah panggilannya dari om menjadi ayah.

"Jahat gak sih kalau Ara bersyukur atas meninggalnya nenek? Karena dengan begitu mama datang ke pare dan akhirnya Ara tau kalau kalian orang tua Ara." Adara merasa sedikit jahat karena hatinya bersyukur atas meninggalnya sang nenek, lagi pula sang nenek tidak pernah menyukainya.

"Rasanya aneh kalau Ara harus panggil ayah, selama ini bahkan om Soni gak pernah mau Ara panggil papa, karena Ara bukan anak nya." Adara baru berani bercerita sedikit saat Rion terlelap, karena sedari awal mereka di pare, Adara sama sekali tidak mengeluarkan suara.

"Ara seneng bisa ketemu kalian, Ara juga seneng karena akhirnya Ara tau kalau selama ini Ara gak di buang. Ara ada sama mama bukan karena kalian gak suka sama kehadiran Ara, tapi semuanya karena terpaksa."

Adara yang terus bercerita pelan bahkan tidak tau jika Igel turut mendengar semuanya dari balik pintu kamar yang tidak sepenuhnya tertutup.

"Maafkan papa sama ayah nak, tapi setelah ini papa akan pastikan gak akan ada yang bisa memisahkan kita bertiga kecuali takdir tuhan."
.
.
.
.
.
Igel menatap lekat sang ayah dan papa yang sudah menunggu nya di ruang keluarga, saat sampai di bali sore tadi mereka langsung kemakam sang ibu, karena sang ibu memang sudah di makamkan oleh pihak kepolisian.

"Sini Gel." Igel duduk di hadapan Damar dan Angga.

"Rion mana?"

"Tidur, dia gak mau lepas dari Adara." Angga menghela nafas panjang.

"Seperti kata Vania, Adara memang anak kalian. Akte kelahiran milik Adara sudah menjelaskan jika dia anak kalian, kalian sudah yakin tapi apa Adara sudah yakin?" Igel terdiam mendengar ucapan Damar.

"Adara mungkin tidak segampang itu percaya, tapi itu sudah tugas kami untuk meyakinkan Adara." Damar mengangguk.

"Rion sepertinya sudah punya firasat kalau Adara anak kalian, sejak awal dia minta aku buat mindahin Adara ke pare, aku udah ada firasat soal itu." Ares akhirnya ikut berbicara.

"Setelah ini biar Adara tinggal sama papa sama ayah, dari pada dia tinggal di kontrakan yang kalian sewa." Igel dan Ares mengangguk.

"Nanti biar Igel tanya ke Adara."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat malam
Nungguin gak sih?
Nih Beta Orionis up...
Sekalian aku mau pamit ya...
Mau rehat sebentar...
Nanti ketemu lagi kok...

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya...

–Moon–

Beta OrionisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang