02. Perasaan lain

244 36 5
                                    


.
.
.
.
.
Rion berangkat ke sekolah sangat pagi, dengan bantuan sang ayah tentu saja. Jika tidak, tentu saja sang ibu tidak akan mengijinkan Rion untuk berangkat sepagi itu, apa lagi meninggalkan Vania.

Rion membawa motor nya ke arah rumah kost Igel, ah sebenarnya bukan benar-benar rumah yang di sewa Igel untuk tempat tinggal nya, tapi rumah itu adalah rumah pribadi milik sang sahabat.

Igel lebih senang menyebutnya dengan rumah kost, karena tidak ingin menjawab pertanyaan orang-orang tentang dari mana dia bisa membeli rumah itu.

Tok

Tok

Tok

"Igel!!" Rion mengetuk pintu rumah Igel dengan tidak sabaran.

Cklek

"Pelan dong, santai gitu." Rion hanya memasang wajah polos saat Igel mengomeli nya.

"Pagi banget? Pamit gimana ke ibuk?" Rion mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu, sementara Igel masih membenarkan seragam nya.

"Ayah bilang ke ibuk kalau minta tolong ke aku buat nganterin titipan papa ke kamu." Igel tertawa kecil.

"Ibuk gak curiga kan?" Rion mengedikan bahunya.

"Kayaknya sih curiga, tapi ya bodo amat lah."

"Ayo berangkat, motor mu taruh sini aja." Rion mengangguk dan mengikuti langkah Igel dari belakang.

"Gel, aku mau mutusin mbok." Igel terdiam sejenak.

"Serius?" Rion mengangguk.

"Ya kalau itu bikin kamu tenang dan bahagia, lakuin, aku bakal ada disini buat dukung kamu." Rion mengulas senyum manis saat mendengar ucapan manis Igel.

"Makasih ya Gel!"
.
.
.
.
.
"Rion!!" Rion menghela nafas saat mendengar panggilan dari Vania begitu dia dan Igel keluar kelas.

"Apa mbok?" Vania menghentakan kaki nya saat mendengar panggilan Rion.

"Dibilang jangan manggil mbok! Panggil kakak! Kamu sama aja kayak Igel ih!" Rion menatap Igel yang mengedikan bahunya acuh.

"Ya udah nanti aku panggil nini aja, protes mulu." Vania semakin merengut saat Rion mengatakan hal itu.

"Ish, kenapa tadi pagi berangkat duluan? Kan aku jadi harus naik ojek." Rion menghela nafas panjang, dia kesal tapi masih berusaha sopan.

"Jangan manja dek mbok, mbok juga punya motor di rumah, mama sediain motor buat di pake bukan buat pajangan." Ucapan ketus Igel membuat Vania semakin gondok.

"Punya adek sama pacar gak pengertian!" Igel kembali mengedikan bahunya, seingatnya dulu Vania tidak semanja ini, tapi sejak dekat dengan ibu kandung Rion, gadis itu jadi semakin manja.

"Rion, temenin aku ke kantin, pingin nasi goreng." Vania menarik tangan Rion tanpa menunggu persetujuan remaja itu, bahkan mereka meninggalkan Igel yang menggelengkan kepalanya.

Igel melangkah ke arah kantin hanya untuk membeli minuman, setelahnya remaja lima belas tahun itu pergi ke taman belakang sekolah.

Semakin hari, Vania semakin memonopoli Rion. Kakak angkatnya itu sama sekali tidak mengijinkan Rion dekat dengan orang lain, bahkan dengan Igel sekalipun.

"Harusnya aku bahagia kan? Tapi kenapa aku justru sakit. Mama sama papa pasti marah dan kecewa kalau tau aku gak normal." Igel bergumam pelan, sangat pelan bahkan tidak bisa di dengar oleh tukang kebun yang ada disana.

"Apa aku harus bilang ke Rion soal mbok Vania ya? Rion di bohongi terlalu lama sama mbok." Igel memejamkan matanya sejenak saat mengingat tentang sesuatu yang dia ketahui.

Beta OrionisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang