Quatorze;

1K 84 10
                                    

Hari pertama, tubuh Taeyong yang menjadi sasaran pelampiasan kemarahan pria-pria kekar itu. Tubuhnya memar, namun Taeyong memberikan alasan bahwa dia terjatuh.

Hari kedua, Taeyong datang ke tempat pemotretan dengan bibir dan kening yang sedikit sobek. Masih terdapat sisa darah yang mengering pada luka itu— dan Taeyong hanya bisa beralasan dia kepentok pintu.

Hari ketiga, keempat dan selanjutnya, memar di tubuh Taeyong semakin banyak. Bahkan, sepertinya memar itu mulai membiru. Ten tidak lagi bisa menahan rasa curiganya.

Tepat setelah Taeyong menyelesaikan pemotretannya— tentu dengan foundation dan concealer yang berlipat kali ganda untuk menutupi kesan memarnya, Ten mencengkram erat bahu sang sahabat. Wajahnya serius.

"Yong. Jujur padaku. Apa ada yang menyakitimu?"Tanya Ten tegas. Taeyong terkesiap, dia sedikit mendesis kesakitan karena memar pada bahunya masih segar.

"Aku yang ceroboh, Tennie."Taeyong mencicit pelan. Dia coba mengalihkan pandangannya, namun Ten menangkup kedua pipinya. Mata sahabatnya itu terlihat sendu dan penuh rahasia.

"Mustahil. Jika kau ceroboh, mungkin aku bisa memaklumi satu atau dua kali. Tetapi ini sudah keterlaluan, Yongie. Apa kedua madumu yang berulah?"Tanya Ten lagi. Taeyong menggigit bibir bawahnya, menggelengkan kepalanya. Pria cantik itu coba untuk tersenyum.

"Nah. I am still a man, afterall. Jika mereka berlaku aneh, aku bisa melawan."Taeyong coba mencairkan suasana. Matanya menatap ke arah alatan makeup yang telantar.

"Cepat, Tennie. Masih ada sisa beberapa menit untuk pemotretan selanjutnya."Taeyong dengan sigap mengambil beauty blender, menyodorkan pada Ten untuk membantunya. Ten mendesah pelan.

Ini aneh. Ada yang salah. Ten tidak mungkin melepaskan alasan-alasan ini. Jika Taeyong tidak ingin melapor padanya, dia akan meminta bantuan kekasihnya.

Setelah Taeyong pulang— dengan alasan anehnya, Ten mendekati sosok pria tinggi yang menunggunya di dalam mobil.

"John."Pria itu— Johnny, mengernyit. Nada datar kekasihnya itu membuat Johnny sadar pasti ada yang salah. Johnny menggenggam lembut tangan si mungil kesayangannya; menatap lembut.

"Ada apa, baby?"Tanya Johnny lembut. Pria itu mengecup pelan genggaman tangan mereka. Wajah Ten masih terlihat datar dan serius.

"I have something serious to talk about with you."Ten berujar dingin. Johnny mengangguk. Melihat wajah kekasihnya yang serius, Johnny juga harus menyamakan kondisinya.

"What is it, baby?"

"Its about Taeyongie, actually. Beberapa hari belakangan dia datang ke jadwal pemotretan dengan tubuh yang memar. Alasannya benar-benar aneh.. Jatoh dari tangga, kepeleset pisang, kepentok pintu.. Like, I do know that he is very clumsy but not to this extend, you know? Aku merasa aneh, John."Ten berujar. Nada kekhawatiran terselip pada bibirnya. Johnny mengangguk. Pria itu coba untuk mencerna kata-kata kekasihnya dengan teliti. Tubuhnya menyendar pada kursi pengemudi.

"Hm... Cukup aneh."Johnny bersuara. Wajah Ten terlihat lebih khawatir. Pria mungil itu menepuk keras pundak sang kekasih.

"Right?! Pasti ada sesuatu yang aneh, John. Aku takut Yongie diciderakan."Ten bersuara khawatir. Johnny mengangguk. Matanya menatap lembut ke arah sang kekasih.

"Okay. Aku akan memerhatikannya, sayang."Johnny berujar. Ten mengecup berkali-kali pipi sang kekasih.

"Thank you, daddy."Ten kembali kepada tingkahnya yang ajaib.

.
.
.

Seusai mengantar sang pujaan hati ke rumah, Johnny menyetir ke Etsclair. Dia masih sibuk memikirkan kata-kata Ten yang bermain di fikirannya. Cukup aneh jika Taeyong terlalu ceroboh seperti itu. Lagipula, pria itu pasti sangat sadar bahwa tubuh dan wajahnya adalah aset perusahaan. Bagaimana bisa Taeyong yang selama ini begitu merawat dirinya tiba-tiba muncul dengan tubuh yang memar? Johnny menekan ponsel, mencari nama suami muda sahabatnya.

The Fourth WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang