66. | Lo sahabat terbaik gue |

778 71 111
                                    

SEBELUM BACA BUDIDAYAKAN

FOLLOW AKUN PENULISNYA

[JANGAN LUPA VOTE BUKUNYA]

KOMENTARI APAPUN YANG KALIAN SUKA.

JADILAH PEMBACA YANG CERMAT DAN AKTIF.

NO SILENT READERS...

CERITA INI MURNI DARI PEMIKIRAN AUTHOR SENDIRI.

DILARANG KERAS MEN-COPY

SEPERTI : IDE, ALUR, DAN BAHASA PEMAIN.

UNTUK PLAGIAT JAUH-JAUH!

TERIMAKASIH SUDAH MAMPIR KE BUKU INI...





Happy reading🦋



─Halilintar Argantara─

Adeline sesekali menoleh pada Halilintar yang menatap keluar lewat kaca mobil. Setelah apa yang terjadi di apartemen tadi, pikiran Adeline berkecamuk.

Dia ingin mempertemukan lelaki itu dengan kerabatnya, tapi disisi lain dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Halilintar.

"Kita bahas ini di tempat gue?" Adeline akhirnya memecahkan gelembung bisu yang membelenggu mereka. "Gue udah siap menjawab semua pertanyaan lo."

Adeline yang mengetahui separuh ingatan sahabatnya menghilang membuat dirinya sempat syok.

Dokter mengatakan, ada seseorang yang sengaja memperalat Halilintar. Lebih tepatnya mencuci otaknya.

"Baiklah."

Lalu kembali hening. Tidak ada lagi yang berbicara sampai mobil Adeline masuk ke dalam sebuah gedung apartemen dan berhenti di depan pintu masuk apartemen.

"Raihan..", panggil Raihan. Adeline adalah seorang anak dari pengusaha tambang emas sementara Raihan hanyalah seorang supir yang baru diperkerjakannya selama sebulan ini.

"Ya, Non?" Raihan menyahut sambil datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh.

"Mau dibawa'in tas belanjanya, Non?", tanya Raihan sopan. Ia sudah mengulurkan kedua tangannya untuk membawakan tas belanja milik Adeline dan Halilintar.

Gadis itu tersenyum senang, lalu ia pun mengulurkan tas belanjanya. Setelah mengambil tas belanja majikannya. Lelaki itu segera bergegas menuju ke gedung apartemen dan melettakan tas itu di atas meja, tepat di samping sofa mahal.

Mereka lalu berdiri di depan dua pintu lift yang masih menutup. Halilintar meraih telapak tangan Adeline dan menyisipkan jemarinya di sela-sela jari gadis itu. "Tangan lo dingin. Lo sakit?"

Pertautan jemari itu sedikit mengagetkan Adeline. Tapi dia tidak menarik tangannya. Telapak tangan Halilintar memang terasa hangat, tidak seperti tangannya yang dingin berkeringat karena gugup. "Bukan sakit," gumam Adeline, "Hanya...."

"Bingung," Halilintar melanjutkan kalimat Adeline yang mengambang.

"Lo aja bingung apalagi gue." Dia memberi Adeline senyum, membuat gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskan pelan-pelan.

Lalu kembali hening. Tak ada lagi yang membuka suara sampai lift yang membawa mereka berhenti di lantai 45, sesuai tombol yang ditekan Adeline.

Laki-laki itu menarik tangan Adeline yang masih berada dalam gengamannya, mengajaknya keluar tanpa kata-kata.

Halilintar Argantara [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang