Day 29. Prank

266 35 5
                                    

Daddy bilang apa?”

Eren yakin seratus persen bila ia salah dengar. Telinganya pasti sedang bermasalah. Mungkin terlalu banyak kotoran di dalamnya. Kapan terakhir kali ia membersihkan telinga? Dua minggu lalu? Satu bulan? Eren tidak ingat!

Wajah terkejut, bingung, dan takut terlihat begitu jelas. Eren bahkan hampir panik. Kantuk sudah hilang. Pergi begitu cepat setelah Levi mengucapkan kalimat pertama pada pagi itu. Semua bertambah buruk karena sikap pria berambut hitam tersebut memang sangat aneh sejak tadi.

Terkesan … dingin.

Eren pikir Levi hanya sedang capek dengan pekerjaan yang menumpuk setelah situasi kembali normal. Covid sudah bukan lagi sebagai wabah. Bahkan satu bulan lalu giliran Eren yang harus karantina mandiri karena tertular oleh Connie dan Jean. Eren tentu tidak menyangka bahwa keanehan sikap Levi justru karena … ini.

“Aku udah ulang tiga kali,” ujar Levi, datar. Terlalu dingin. Ia meletakkan cangkir teh ke atas piring kecil, lalu menoleh untuk menatap Eren yang masih mematung. Tak menyentuh roti bakar dan segelas susu. “Aku mau batalin tunangan kita.”

Hening.

Mulut Eren terbuka dan tertutup beberapa kali. Bingung, panik, khawatir, serta berbagai macam emosi negatif lain terlihat begitu jelas dari wajahnya. Mata hijau yang indah mulai berkaca-kaca. Pemuda itu akhirnya menarik napas yang bergetar, lalu memasang senyum.

“T-Tapi kenapa, Daddy? Aku … apa aku ada salah?”

Levi hanya menggeleng. Ia sudah memalingkan wajah dan lebih memilih untuk berdiri sembari meraih jas kerja yang ia sampirkan di sandaran kursi.

“Nggak ada. Aku cuma ngerasa kalau kita udah nggak cocok aja,” katanya. Tidak peduli ketika Eren ikut berdiri. “Visi dan misi kita udah beda. Aku rasa kalau kita biarin dan paksain lanjut, nantinya justru bikin semua tambah kacau. Jadi … aku pikir lebih baik dibatalin secepatnya.”

Eren kehilangan kemampuan untuk bicara. Telinganya berdenging. Jantungnya berdebar sangat cepat. Hatinya … hatinya sakit sekali mendengar Levi, kekasihnya, tunangannya, mengatakan hal tersebut.

“T-Tapi Daddy

“Eren,” potong Levi, serius. Ia sudah siap untuk berangkat kerja. Wajahnya begitu datar. Mata hitam yang biasanya memandang lembut, kini justru terlihat dingin. Sangat asing hingga Eren lupa untuk bernapas dengan normal.

“Aku rasa panggilan itu juga udah nggak cocok lagi.”

Hanya satu kalimat saja, tapi sudah bisa menghancurkan hati Eren.

Pemuda itu diam mematung. Mata hijau memandang tanpa berkedip ketika Levi melangkah pergi. Tak ada kecupan sayang di pipi dan bibir. Tak ada senyum lembut ketika keduanya berpamitan. Tidak ada apa pun.

Eren masih memegang harapan ketika pria pendek tersebut berhenti melangkah setelah membuka pintu rumah. Kepala bersurai hitam menoleh. Suara Levi begitu datar ketika berkata, “Aku akan jelaskan semuanya sama Mama dan Papa. Kamu nggak perlu khawatir.”

Lalu Levi pergi.

Suara pintu tertutup bahkan tidak bisa menyelamatkan hati Eren yang retak.

From Home [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang