Belakangan ini entah mengapa Anindya seringkali dihinggapi perasaan tak nyaman. Dia sering merasa sedang diikuti dan diperhatikan, baik saat dikampus, diperjalanan, maupun ketika sudah berada di apartemen.
Seperti yang terjadi sore hari ini. Dia baru selesai kelas sekitar pukul 16.20 dan dilanjutkan dengan diskusi bersama teman sekelompoknya sampai menjelang magrib. Anindya sudah mengabari suaminya jika ia akan pulang terlambat. Makanya selesai diskusi, Anindya memutuskan untuk shalat magrib terlebih dahulu di mesjid kampus, jika pulang sekarang dia takut kehabisan waktu magrib karena biasanya jalanan menuju apartemen di jumat sore ini selalu macet.
Ini bukan sekali dua kali Anindya berada di kampus sampai malam. Tapi kali ini terasa berbeda. Ketika ia sedang menalikan sepatu diteras mesjid, ujung matanya menangkap seseorang yang tampak begitu intens memperhatikannya beberapa meter dari posisinya duduk. Anindya tak begitu menghiraukan dan selalu mencoba berpikir positif. Tapi begitu ia beranjak dari duduk, seseorang itu tampak bersiap juga. Ketika Anindya melangkah menuju luar area masjid, orang itu mengikutinya juga. Kaki Anindya gemetar karena takut dan dia pun memutuskan untuk kembali ke mesjid. Setidaknya di dalam mesjid Anindya merasa nyaman dan aman.
Begitu duduk di mesjid, dengan tangan yang gemetar Anindya mengeluarkan handphonenya untuk menelepon Jae.
"Mas masih dimana?"
"Udah deket sayang, sebentar ya?"
"Aku tunggu di mesjid kampus ya Mas?"
"Oke, sabar yaaa bentar lagi aku nyampe."
"Iya, teleponnya jangan dimatiin ya!"
"Iyaa."
Setelahnya keduanya terdiam dan hanya ditemani samar-samar suara musik yang Jae putar dalam volume rendah.
"Aku udah didepan mesjid, yang."
"Oke, aku kesana."
Dengan terburu-buru, Anindya langsung keluar dari mesjid, memakai sepatunya asal, dan mencari mobil Jae tapi nihil. Hanya ada satu mobil disana dan itu bukan mobil Jae.
"Aku pake mobilnya Danish, sini!"
"Yang item?"
"Iya sayang, mobil yang depan mesjid cuma ini aja. Apa perlu aku buka kaca mobil?"
"IHHHH JANGAN!"
Anindya langsung mematikan sambungan telepon kemudian berlari kecil untuk menghampiri mobil tersebut dan menaikinya di kursi samping kemudi.
"Kok tumben pake mobil Bang Danish, Mas?" tanya Anindya sembari memakai seltbelt.
"Mobil aku dipake Sakhi sama Brian tadi, jadinya minjem punya Danish. Ini aku jemput dari kantor langsung soalnya." jawab Jae sembari mengemudikan mobil keluar dari area kampus. Kantor yang Jae maksud adalah kantor agensinya.
Anindya mengangguk. "Nanti abis nganterin aku, kamu ke kantor lagi berarti?"
"Enggak, urusan mobil gampang, sayang. Besok juga Sakhi anterin mobil ke apart, terus pulangnya bawa mobil ini."
Anindya mengangguk lagi. "Ooo iya."
"Kenapa?" tanya Jae.
"Apanya?"
"Aneh aja kamu nanya gitu." ucapnya. "Kenapa?" tanya Jae lagi dengan suara yang lebih lembut.
Anindya tuh gak bisa diginiin, lihat saja ekspresi wajahnya langsung berubah seperti hendak menangis.
"Gak mau ditinggal, akhir-akhir ini perasaan aku gak enak, Mas." jawabnya sesuai keadaannya sekarang.
Jae menggenggam tangan kanan Anindya dengan tangan kirinya yang bebas. "Gak enak gimana? Aku disini kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
We Got Married
General FictionAnindya Mootiara Soebjakto tidak pernah mengira akan menikah di usianya yang baru menginjak 19 tahun dengan Zabdan Akandra Nawasena atau yang lebih dikenal dengan panggilan Jae, gitaris band Enam Hari. Start : Senin, 8 Juni 2020