19. Pelik dan Peluk

562 84 7
                                    

Cincin Anindya hilang. Bahkan Anindya lupa kapan terakhir kali dia melihat cincinnya sendiri. Anindya mencoba mengingat-ingat, ada dua kemungkinan yang terjadi; ketinggalan di kamarnya atau malah jatuh di sembarang tempat? Tapi kalau memang ketinggalan di kamar, Anindya merasa tidak pernah menaruh cincin sembarangan di kamarnya. Apa memang iya terjatuh?

Wah, gawat! Cincin itu kan cincin kawin yang mana ada ukiran nama Anindya dan Jae didalamnya. Kalau terjatuh di sekitaran apartemen ya gapapa, lah kalau di kampus? Bisa geger dunia. Mending kalau yang nemuin itu berniat menjualnya lagi, gimana kalau malah di up di base kampus?

"Kenapa?" tanya Jae begitu Anindya tidak menjawab pertanyaan soal cincin. Dia sempat melirik sekilas Anindya yang kini tampak gelisah?

Anindya menoleh pada Jae yang duduk tenang disampingnya. Pandangan Jae begitu fokus pada jalanan ibu kota yang lumayan padat, bukan lumayan lagi sih ini namanya padat sekali di sore hari ini. Padahal aslinya tadi Jae beberapa kali curi-curi pandang gitu.

"Ini cincin kayaknya jatuh deh," jawab Anindya harap-harap cemas. Takutnya Jae langsung memberikan lirikan tajam yang bisa membuat nyalinya ciut seketika. Yaaa nyatanya enggak. Jae hanya meliriknya sekilas dengan ekspresi yang Anindya sendiri gak tahu itu tuh ekspresi menggambarkan apa?

Mungkin dengan wajah tenangnya kali ya, Jae bilang, "yakin? Kali aja ketinggalan di apart."

Anindya menggeleng karena dia yakin cincinnya itu enggak ketinggalan tapi emang jatuh dan hilang. "Enggak, aku gak pernah naruh di apart. Selama ini aku jadiin liontin kalung. Kayaknya emang jatuh deh, gimana ya?"

Woh, Anindya ngomong panjang lebar nih.

"Lah? Kok aku?" tanya Anindya begitu tersadar tadi dia menyebut dirinya 'aku'.

Jae terkekeh. "Udah bagus pake aku." cicitnya pelan.

"Hah?"

"Enggak."

Wajah Anindya merenggut, "terus ini gimana cincin? Nanti Mama pasti bertanya-tanya." ucapnya frustasi.

"Coba deh, diinget-inget takutnya beneran ketinggalan. Tapi kalo emang jatuh, mau pake cincin aku aja? Nanti aku bilang aja cincin aku yang ketinggalan." tanya Jae. "Eh kok aku juga?"

Ah elah ini pasutri, perihal bilang aku-aku aja kek heran banget.

"Ya gak muat lah, Pak. Tanganmu gedhe gitu." sahut Anindya kesal. Menurutnya nih suami satu lagi mode paboya kah? Sudah jelas dong ukuran jari-jari tangan mereka akan sangat-sangat berbeda.

"Iya juga ya, yaudah lah bilang aja cincinnya ilang." ucap Jae seenak jidat.

"Cincin ilang-cincin ilang, enteng banget ngomong. Cincin kan pilihan Mama dulu. Kalau dibilang ilang, nanti disangka gak bener lagi jadi menantu. Gak bisa jagain cincin doang gitu. Hueee gimana ya? Tapi aku juga gatau itu cincin dimana? Apa bener ilang?"

Wow, Jae sampe speechless dengar Anindya nyerocos. Tak sadar, bibirnya menarik garis lengkung ke atas menciptakan sebuah senyuman yang cukup manis kelihatannya.

"Yaudah, kan emang ilang toh? Gak sengaja kamunya juga. Mama gak bakal marah." ucap Jae dengan suara lembut huhu selembut sutra.

"Bener?"

"Ya semoga."

"Ya Allah, itu cincin dimana ya?" Sungguh, Anindya frustasi sekali. Dia sampai menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. "Cincin bisa dilacak gak sih?"

"Iya ntar bikin yang bisa dilacak." kata Jae. Entah keberanian dari mana, tangan kirinya menepuk-nepuk pelan kepala Anindya yang tertunduk. "Udah, Mama juga gak bakal ngeh."

We Got Married Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang