"Aku gak halu!" Jennie berusaha melepas cengkeraman tangan Lisa yang semakin menguat. Setelah berhasil lepas, ia bergegas mengeluarkan hasil tes DNA yang sudah dipersiapkannya.
"Keluar!"
"Baca dulu!" Jennie berujar tak kalah tegas.
Lisa mau tak mau membuka surat itu dan membacanya dengan seksama. Ia menggeleng pelan. Tangannya meremas kuat surat ditangannya.
"Ini gak mungkin," ujarnya sarkas.
"Kalau itu gak mungkin, coba jelasin kenapa hasilnya bisa positif."
"Ya bisa aja salah atau pemalsuan dokumen. Lagian lo dapet sampel gue darimana?"
"Orang lain bisa semudah itu ngambil rambut kamu karena kamu gak terlalu peduli sama sekitar."
Lisa tak menggubris ucapan Jennie. Ia lagi-lagi mencengkeram tangan Jennie dan menariknya keluar rumah.
"Keluar!"
"Kalo kamu belum percaya, kita bisa tes ulang biar kamu percaya." Jennie masih berusaha meyakinkan Lisa meskipun kakinya terpaksa secepat mungkin keluar dari rumah itu.
"Gue gak mau!"
"Li---"
"Percuma Jennie! Apapun hasilnya, gue gak akan pernah sudi jadi adik lo!"
Kalimat itu seolah menjadi hantaman untuk Jennie. Air matanya luruh begitu saja. Rasanya sesak bukan main. Ia seperti tercekik oleh perasaannya sendiri. Tubuhnya mematung beberapa saat sampai ia sadar Lisa hendak kembali masuk ke dalam rumah.
"Kenapa Li?" suara itu rasanya amat pilu di telinga Lisa hingga ia urung untuk melanjutkan langkahnya.
"Aku tau aku punya banyak salah. Aku minta maaf, Li." Jennie berusaha menggenggam tangan Lisa.
"Please maafin kakak ya!" ujar Jennie penuh harap.
Lisa menepis tangan Jennie lalu menatap Jennie tajam. "Nggak sebelum lo bebasin ayah gue!"
"Aku gak bakal pernah bebasin pak Adrean."
"Jadi lo lebih memilih gak gue maafin?!"
"Apa dengan ngebebasin pak Adrean bikin kamu mau maafin aku dan terima aku jadi kakak kamu?"
"Gue bakal maafin lo tapi nggak buat anggep lo sebagai kakak gue."
"Kalo gitu aku gak bakal bebasin pak Adrean," ujar Jennie final.
"Jen!"
"Please Li! Gak usah bohong sama perasaan kamu sendiri. Aku tau kamu capek ngadepin ayah kamu. Aku tau kamu pingin hidup dengan tenang tanpa bayang-bayang ayah kamu. Kamu gak bisa ngejauhin ayah kamu karena janji kamu ke ibu kamu kan?"
Lisa menatap Jennie semakin intens. "Gak usah sok tau dan gak usah bawa-bawa ibu!" ujarnya tegas dengan penuh penekanan.
"Li dengerin aku. Ibu kamu pasti bahagia kalo anaknya bahagia. Ibu kamu juga pasti marah atas tindakan ayah kamu. Li meskipun kamu gak tinggal serumah lagi sama ayah kamu setidaknya kamu bisa jenguk dia tiap hati. Kamu gak jauh dari ayah kamu Li. Bedanya cuma pada tempat tinggal," ujarnya berusaha meyakinkan Lisa.
Jennie perlahan menggenggam lagi tangan Lisa dengan lembut. Tatapannya tak berubah, masih teduh seolah tak goyah dengan tatapan Lisa yang menusuk relungnya.
"Lisa, aku gak mau kamu ngorbanin apapun lagi buat pak Adrean. Apalagi itu berkaitan sama nyawa kamu."
Lisa menghempas tangan Jennie. "Kalo gue mau apa salahnya? Lo gak pernah ada di posisi gue kan? Emang lo pernah bingung harus pilih nyawa lo atau pertahanin janji lo ke orang yang paling lo sayangi? Nggak kan? Lo lahir di keluarga kaya yang cemara Jennie. Lo juga gak perlu mikirin gimana cara nunjukim rasa sayang lo ke orang tua lo. Lo juga gak perlu mikir uang makan buat besok. Jadi gak perlu sok simpati ataupun peduli karena lo sendiri gak pernah ngerasain apa yang gue rasain!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Hospitals
FanfictionSistership Jennie x Lisa Jennie seringkali iri dengan kedekatan Jisoo dan Rose (adik kandung Jisoo). Jennie juga ingin memiliki adik. Ia berharap dengan hadirnya Lisa, ia bisa merasakan figur adik seperti yang Jisoo rasakan. Tapi nyatanya, Lisa tida...