Ruangan sempit dengan dinding beralaskan koran itu tampak masih aesthetic meskipun buku-bukunya sedikit berserakan di lantai. Lampu belajar yang menyala menunjukkan bahwa sang empu masih sibuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Gadis itu merenggangkan ototnya sebentar sebelum mengambil ponselnya. Ia memotret hasil tugasnya lalu mengirimkannya pada obrolan grupnya. Tak lama kemudian, sebuah bukti transfer masuk.
Ia mengeceknya sebentar lalu beranjak naik ke ranjang. Sudah pukul delapan dan ia harus segera tidur untuk menghemat tenaganya.
Tapi baru saja ia memejamkan mata, suara ponselnya membuatnya harus kembali membuka mata. Dengan decakan kecil, ia menggeser tombol hijau.
"Hm?"
"Li, mereka nawarin gaji 2x lipat kalo lo mau tampil selama 2 jam."
Lisa menghela nafas. "Gue bukan robot. Gue juga benci jadi pusat perhatian."
"Kalo lo nerima ini tawaran, lo gak perlu kerja lagi jadi kuli panggul di pasar. Bukannya waktu itu lo bilang kalo kerja di sini kurang menghasilkan? Mangkanya lo tetep kerja sebagai kuli panggul? Sekarang, gue rasa ini tawaran lebih ngasilin deh. Coba hitung, dulu gaji lo disini 150 ribu+kuli panggul 100 ribu jadi total 250 ribu. Kalau sekarang, 300 ribu cuma kerja di sini selama 2 jam. Gue rasa lo sangat pintar buat memilih mana yang lebih baik."
Lisa berfikir sejenak. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Ia hanya perlu lebih lama membangun kepercayaan diri dan semua akan terbayarkan dengan mudah.
"Peraturannya masih berlaku kan?"
"Iya-iya. Gue bakal masang banner yang lebih gede buat peringatan."
"Hm. Gue tidur dulu."
.....
Jennie menatap bosan televisi di depannya. Sudah hampir pukul sepuluh tapi ia masih belum mengantuk. Alhasil, di sinilah ia sekarang. Jemarinya sudah berulang kali merubah tayangan layar digital besar itu namun tidak ada satu pun acara yang menarik minatnya.
Ia menghela nafas. Beginilah derita anak tunggal, tidak punya teman bicara saat ditinggal sendiri di rumah. Kedua orang tuanya sedang ada urusan bisnis. Mungkin mereka akan kembali besok.
Suara klakson mobil membuatnya berdiri dari duduknya. Ia beranjak menuju pintu utama untuk melihat siapa yang datang.
Mobil putih dengan stiker hello kitty besar di bagian bodynya sudah membuat Jennie tahu siapa yang berkunjung. Siapa lagi kalau bukan sahabat gesreknya, Ileana Jisoo Garini.
"Jenjenjenjen...jenduk."
Jisoo masuk tanpa permisi sambil bernyanyi tidak jelas. Jennie yang sudah paham dengan tingkah absurd sahabatnya itu hanya mampu menggelengkan kepalanya.
"Ganti baju sana?" ujarnya setelah rebahan di sofa.
Jennie tak langsung menurut. "Buat apa?
"Temani aku ke bar terus nginep deh di rumah."
"Yang benar aja Jisoo! Bugh!" Jennie melemparkan bantal ke wajah Jisoo.
Jisoo melempar kembali bantal tersebut ke arah Jennie namun sayangnya Jennie berhasil menghindar.
"Aku sudah ijin pada daddymu."
Jennie mengerutkan keningnya. "Sudah ijin akan mengajakku ke bar?"
"Nggak. Aku cuma ijin buat ngajak kamu nginep di rumahku karena aku tau kamu kesepian," ujarnya diakhiri kekehan.
Jennie sudah menduga. Daddynya tidak pernah mengizinkannya pergi ke bar. Jika ia ingin mabuk, Daddynya akan bersedia menemaninya minum di rumah, tidak di luar rumah terutama di bar. Tapi sampai detik ini, Jennie belum berani untuk mencobanya, ya meskipun dia ingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Hospitals
Fiksi PenggemarSistership Jennie x Lisa Jennie seringkali iri dengan kedekatan Jisoo dan Rose (adik kandung Jisoo). Jennie juga ingin memiliki adik. Ia berharap dengan hadirnya Lisa, ia bisa merasakan figur adik seperti yang Jisoo rasakan. Tapi nyatanya, Lisa tida...