Mature Scene 21+
Happy reading, semoga suka.
Ebook lengkap ada di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
______________________________________________________________________________
Begitu Martha keluar, Archibald memusatkan perhatiannya kembali kepada gadis itu. Florence masih berbaring tak bergerak seinci pun dari posisinya semula. Dan saat melihat wajah gadis itu, rasa takut masih mewarnai ekspresi gadis itu. Archibald mendesah dalam diam. Ia tidak akan mengatakan apa-apa sekarang tapi seiring berlalunya waktu, gadis itu akan mengerti bahwa tidak semua tindakannya akan membuat Archibald marah dan meradang. Mungkin jika ia memperlakukan gadis itu dengan lebih adil dan baik, dia akan bisa belajar untuk mempercayai Archibald sekaligus menyadari tempatnya di dalam kastil ini. Meraih mangkuk air panas yang dibawa oleh Martha, Archibald lalu berjalan kembali mendekati gadis itu.
Meletakkan mangkuk itu di atas kursi, Archibald lalu mencelupkan kain dan meremasnya. "Aku harus membersihkan jahitanmu dan juga darah kering dari rambutmu. Kau mungkin akan merasa sedikit sakit tapi aku akan berusaha melakukannya dengan selembut mungkin. Aku tidak bisa mencuci rambutmu, setidaknya sampai luka di dahimu membaik, jadi ini yang terbaik yang bisa kulakukan."
Lalu dengan lembut ia mulai membersihkan luka gadis itu juga rambut-rambut di sekitarnya dan tak sekalipun gadis itu membuat suara ataupun gerakan. Mencoba untuk membuat gadis itu sedikit rileks, Archibald mendapati dirinya berbicara dengan gadis itu, selembut dan setenang mungkin.
"Pelayan tadi bernama Martha, dia salah satu pelayan terlama dan yang paling kupercaya. Kau akan menyukainya. Dia wanita yang sangat manis dan baik. Ah, oke, kurasa sudah cukup. Biarkan rambutmu tetap seperti ini hingga kering dulu. Kau tidak keberatan bukan jika aku memeriksa lenganmu? Aku tidak tahu mengapa lengan-lenganmu penuh lebam, tapi mungkin karena kulitmu putih, jadi mudah terbentur dan lebam. Tapi jangan cemas, semua itu akan hilang dalam beberapa hari. Oh, mereka tidak tampak mengerikan lagi. Kurasa besok lusa, lebam-lebam itu akan menguning dan menghilang. Apakah masih sakit?"
Gadis itu menggeleng dan tetap tidak membuka mulut. Archibald pikir reaksi itu sudah cukup bagus dan ia tidak ingin terlalu mendesak gadis itu. Archibald lalu meraih botol krim yang tadi dibawa oleh Martha dan membukanya.
"Ah... aroma krim ini jauh lebih baik dari ramuan teh yang kemarin kau minum. Aku akan menggosokkan krim ini ke lenganmu, akan membantu penyembuhanmu."
Archibald mengeluarkan krim dengan jemarinya dan menggosokkannya di antara kedua tangan untuk menghangatkannya. Lalu ia menarik selimut Florence dan mulai memijat kedua lengan gadis itu, dari ujung jari hingga bahu. Archibald bisa merasakan otot-otot gadis itu berubah lebih rileks dan ia senang karena gadis itu mulai terbiasa dengan sentuhannya.
Ketika selesai, Archibald menatap lebih ke bawah dan ia menyembunyikan reaksi tubuhnya dan berpura-pura bahwa kepolosan tubuh Florence tidak mempengaruhinya. Tapi ia tahu bahwa sentuhannya akan kembali membuat gadis itu menegang kaku. Sempat terpikir olehnya, apa ia perlu memberikan ramuan teh itu pada Florence dan mungkin saja ia bisa melakukan lebih dari sekadar menyentuh dan mengusap tubuh itu. Tapi Archibald segera menyingkirkan pikiran itu, jika Florence menghabiskan waktu bersamanya di ranjang, dan tentu saja gadis itu harus dan akan melakukannya, maka dia harus belajar untuk menyukai sentuhan Archibald.
"Baiklah, Flo, boleh aku memanggilmu seperti itu?"
Gadis itu kembali mengangguk.
"Oke, aku tahu kau tidak menginginkannya tapi aku harus mengecek tubuhmu. Aku berjanji akan berlaku selembut mungkin, tapi akan lebih mudah jika kau tidak kaku dan tegang."
Tangan Archibald berpindah ke dada gadis itu, dengan lembut mengusap kedua payudara Florence. Ia ingat ia mengisap puncak gadis itu dengan keras, tapi ia tidak melihat bekas apa-apa di sana. Tapi saat kain itu menyentuh dada gadis itu, ia bisa melihat bagaimana puncak-puncak itu mengeras dan gadis itu tersentak pelan. Serta merta dia memalingkan wajahnya. Archibald meraih gadis itu dan memaksa tatapan mereka untuk kembali bertemu.
"Tidak ada yang salah dengan reaksimu, itu adalah hal yang normal dan malah membuatku senang."
Wajah gadis itu terlihat merona saat Archibald menyentuh salah satu puncak merah muda itu dan mencubitnya lembut.
Terdengar kesiap lain yang lolos dari mulut gadis itu saat kepala Archibald turun dan dengan lidahnya, ia menggoda puncak dada Florence. Pria itu tidak tahu bahwa Florence belum pernah merasakan perasaan seperti ini, seolah ada ratusan kupu-kupu yang beterbangan di tengah perutnya dan ia merasakan kebutuhan untuk merapatkan kedua kakinya dan menahan ketegangan yang tengah terbangun di dalam dirinya. Ia begitu lega saat pria itu kemudian menjauhkan diri.
Sementara itu, Archibald berusaha keras mengontrol dirinya. Ini bukan tujuan ia datang ke sini. Jika ia meneruskan apa yang tadi dilakukannya, ia mungkin saja akan berakhir dengan menyetubuhi gadis itu di sini sementara sang penyembuh sudah berpesan bahwa gadis itu tidak boleh melakukan hubungan fisik hingga akhir minggu. Tapi reaksi gadis itu benar-benar membuainya. Archibald tahu kalau gadis itu bukanlah perawan, tapi reaksinya bisa membuat orang salah paham. Mungkin Florence hanya tidak terbiasa dengan sentuhan yang memberinya kenikmatan, mungkin selama ini, gadis itu hanya dimanfaatkan untuk memberi kenikmatan bagi lawan jenisnya dan bukan sebaliknya.
Archibald menarik napas dalam lalu meneruskan kembali pemeriksaannya. Ia melihat lebam di beberapa bagian di paha dan lutut gadis itu lalu ia meluruskan kaki Florence. Penasaran, Archibald bertanya bagaimana gadis itu mendapatkan begitu banyak lebam di tubuhnya tapi Florence hanya menggeleng pelan. Jadi ia tidak memaksa gadis itu memberikan jawaban dan hanya mengusapkan krim ke bagian-bagian tersebut.
"Sekarang, aku perlu mengecek bagian di antara kedua kakimu untuk melihat apakah kau sudah mulai sembuh. Dan aku juga harus mengusapkan krim ini di sana. Kau akan membiarkanku melakukannya atau aku harus meminta bantuan orang lain?"
Mendengar itu, Florence dengan cepat membuka kedua kakinya.
Saat pria itu mengangkat kaki kirinya dan meletakkannya di pangkuannya dan melebarkan kaki kanannya, Florence hanya menatap pria itu dengan mata nanar. Ia berusaha keras mengontrol napasnya. Seumur hidup, ia tidak pernah merasakan begitu banyak emosi dalam saat yang bersamaan. Pria itu membuatnya takut, tapi juga membuatnya merasa tenang, lalu membuatnya berdebar dan sekarang ini, ia kembali waswas, apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya?
Archibald menunduk dan menggunakan jarinya, ia membuka kedua lipatan gadis itu. Florence tidak sepenuhnya kering, tapi dia juga tidak lembap sehingga menyulitkan Archibald untuk menyelipkan jarinya ke dalam.
"Apakah sakit?" tanyanya dan gadis itu mengangguk.
Archibald kembali mengambil krim dengan jarinya dan berusaha menyelinap ke dalam tubuh gadis itu tapi Florence begitu kaku dan tegang sehingga ia kesulitan.
"Bisakah kau sedikit rileks?" tanyanya.
Tapi sepertinya gadis itu tidak bisa melakukannya.
Dengan keahliannya, Archibald berusaha membuat gadis itu lebih tenang. Ia bahkan membuka kedua lipatan itu lebih lebar dan mengusap tonjolan bengkak itu untuk menstimulasi Florence. Gadis itu mulai merespon, jadi Archibald menyusupkan jarinya ke dalam.
Archibald bergerak semakin ke dalam. Dan pada saat itulah, ia mengerti mengapa gadis itu begitu kaku dan tegang.
"Kau... kau masih perawan ketika kita bertemu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sold to The Devil - a dark romance
Romance"Baiklah, aku mengerti, George. Dan aku bersimpati padamu, tapi bagaimanapun, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja." Archibald melihat pria itu berdiri dan siap kembali memohon, merendah, menjilat, apapun itu demi mengubah pikiran Archibald, jad...