Happy reading, semoga suka.
Ebook sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
______________________________________________________________________________
Florence terbangun saat seorang pelayan masuk ke dalam kamarnya dengan langkah berisik dan bahkan tersandung sesuatu yang keras. Dahi Florence mengernyit karena suara-suara itu membuat kepalanya semakin sakit. Ia membuka mata dan mencoba berfokus dan melihat seorang pelayan muda yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya berjalan mendekatinya.
"Maaf, Nona. Aku tahu aku sangat berisik, aku tidak sengaja tersandung ambang pintu tadi. Aku membawa tungku pemanas bersamaku. His Lord memerintahkan untuk menghangatkan kamar Anda."
Florence menatap gadis muda dengan wajah bundar dan mata cerdas itu. Dia berambut merah, dengan perawakan yang tidak begitu tinggi tapi memiliki lekuk tubuh yang menggiurkan dan dada besar yang bisa membuat banyak wanita iri. Gadis itu juga ikut menatapnya sebelum kemudian buru-buru memperkenalkan diri, seolah menyadari ketidaksopanannya. "Namaku Lara. Jika ada yang Anda butuhkan, katakan saja padaku. His Lord berkata bahwa Anda tidak sengaja melukai diri Anda kemarin."
Florence menggeretakkan gigi dan menolak untuk membela diri di depan seorang pelayan. Melukai dirinya sendiri? Padahal pria itulah penyebabnya. Karena ia hanya diam, pelayan itu kemudian berbalik dan mulai membawa tungku pemanas ke seberang ruangan dan berlutut di sana untuk memasukkan arang dan menyalakannya. Tak lama, panas dari arang yang dibakar mencapai Florence dan kehangatannya terasa sangat menyenangkan. Ia bergelung lebih nyaman di balik selimut sementara udara di dalam kamar pelan-pelan naik. Gadis pelayan itu kemudian berdiri dan berbalik. "Apa Anda merasa lebih hangat, Nona?"
Florence mengangguk.
"Apa Anda membutuhkan sesuatu? Aku bisa..."
Florence menggeleng. "Tidak perlu, terima kasih. Aku hanya ingin tidur kembali." Sebenarnya Florence sangat butuh untuk menggunakan pispot tapi ia tidak ingin mengatakannya, tidak ingin gadis itu membantunya dan membuatnya merasa lebih terhina dari yang sudah dirasakannya. Gadis pelayan itu memang tidak mengatakan apa-apa, tapi Florence tahu kalau seluruh isi kastil ini pasti sudah tahu mengapa ia berada di sini. Ia hanya ingin ditinggalkan sendiri saat ini.
"Baiklah kalau begitu, aku akan meninggalkan Anda untuk beristirahat."
Gadis pelayan itu baru saja meninggalkan kamar ketika sang bangsawan itu memasuki kamar tempat Florence kini tinggal. Awalnya ia berpikir kalau gadis pelayan itu yang kembali dan tubuh Florence langsung mengejang saat ia mendapati bahwa pria itulah yang memasuki kamarnya.
"Selamat pagi, Florence. Bagaimana keadaanmu?"
Pria itu menyapa sopan seolah kemarin dia tidak baru saja mencabik-cabik tubuh Florence.
"Aku... baik," jawabnya, tak mampu mencegah suara tegang yang memenuhi nada suaranya, apalagi ketika melihat pria itu menarik kursi dan duduk kembali di sebelah tempat tidurnya, persis seperti tadi malam.
Insting untuk melindungi dirinya membuat Florence menarik selimut lebih tinggi hingga ke dagunya dan sepertinya itu membuat pria tersebut tidak senang.
Sementara itu, Archibald menatap tidak senang pada reaksi Florence. Setelah apa yang terjadi tadi malam, walaupun ia tahu bahwa gadis itu tidak mengingatnya, tetap saja itu membuatnya sedikit tersinggung bahwa Florence takut padanya. Padahal tadi malam, gadis itu merapatkan tubuhnya secara sukarela pada Archibald. Dan yang lebih membuatnya tidak bisa fokus adalah fakta bahwa ia merasa tubuhnya mengeras hanya dengan menatap gadis itu padahal Archibald belum menyentuhnya sama sekali dan gadis itu tidak melakukan apa-apa, selain berbaring di sana, dengan tubuh tertutup selimut dan kedua mata besarnya menatap Archibald takut. Archibald merutuk di dalam hati, lalu menggelengkan kepalanya pelan untuk membuang semua pikiran-pikiran tersebut darinya. Ia menjulurkan tangan ke arah gadis itu tapi berhenti saat melihat Florence tersentak halus.
"Aku harus memeriksamu. Aku perlu tahu apakah lukamu sudah mulai membaik. Ruangan ini sudah dihangatkan, jadi kau tidak akan kedinginan, jadi bolehkan aku membuka selimutmu?" Gadis itu hanya menatapnya dengan kedua matanya yang masih menyorotkan rasa takut. Tapi kemudian, tanpa suara, tanpa kata-kata, dia menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan meregangkan kedua kakinya. Gadis itu jelas telah belajar, Archibald bahkan belum memberikan perintah apapun tapi gadis itu langsung mematuhinya.
Tapi untuk beberapa alasan, itu tidak membuat Archibald senang. Ia malah kecewa karena sadar bahwa gadis itu melakukannya lebih karena rasa takutnya. Archibald lalu bergerak dengan pelan, menarik selimut seluruhnya dari tubuh gadis itu sementara Florence menutup mata dan memalingkan wajahnya.
Archibald mulai dengan memeriksa luka di kepala gadis itu. Ia menyentuh lembut area sekitar jahitan. Gadis itu terkesiap kecil saat dia pertama kali menyentuhnya tapi setelah itu, dia kembali diam dan patuh. Setelah memastikan tidak ada infeksi, Archibald bergerak untuk memeriksa lengan gadis itu. Beberapa lebam di tubuhnya menghitam tapi dalam beberapa hari, semua itu akan menghilang.
Sebelum Archibald sempat memeriksa lebih lanjut, seseorang mengetuk pintu kamar. Archibald berdiri dan meraih selimut untuk menutupi tubuh gadis itu sebelum membiarkan pelayannya masuk.
"Aku membawa air panas bersamaku, My Lord. Mungkin Nona ini ingin mencuci rambutnya dan mengelap tubuhnya? Aku juga membawa krim bersamaku, itu akan bagus untuk lukamu, Nona."
Martha tidak menunggu jawaban mereka tapi langsung bergerak ke sana kemari. Setelah memastikan pelayan itu selesai menyibukkan dirinya, Archibald lalu mengusir Martha.
"Anda yakin tidak membutuhkanku di sini, My Lord?"
"Keluarlah. Aku bisa mengurusnya," ulang Archibald lagi dengan nada final dan Martha pun menyerah, lalu keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sold to The Devil - a dark romance
Romance"Baiklah, aku mengerti, George. Dan aku bersimpati padamu, tapi bagaimanapun, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja." Archibald melihat pria itu berdiri dan siap kembali memohon, merendah, menjilat, apapun itu demi mengubah pikiran Archibald, jad...