7. Zea Kehilangan

176 14 0
                                    

"Karena mengidap penyakit meningitis, Anna kehilangan kesadarannya. Kondisinya juga semakin memburuk," kata Audrey. Ia menoleh ke Anna yang terbaring dengan lemahnya. Sam menghembuskan nafas. Ia menatap sendu Anna.

"Aiden, Kayden, bagaimana kondisi Zea?" Tanya Audrey ketika melihat Kayden dan Aiden masuk ke dalam ruang rawat Anna.

"Aku baik-baik aja, Mamah." Jawab Zea yang baru muncul dengan senyuman tipis yang tercetak dibibir kecilnya.

Audrey mendekati Zea dan memegang kening Zea, "demam kamu sudah turun, apa kepala kamu masih pusing?" Tanya Audrey lembut.

Zea menggeleng dan tersenyum. "Sungguh aku baik-baik aja, Mamah."

"Syukurlah kalo gitu, ayo duduk." Audrey tersenyum dan menuntun Zea untuk duduk di sofa yang ada di ruang rawat tersebut.

Hening.

Zea yang biasanya memecahkan keheningan di antara mereka kini hanya diam. Ia menunduk, tidak berani melihat Bundanya yang masih tidak sadarkan diri.

Audrey juga lebih memilih diam dan terus mengusap bahu Zea lembut. Dan Sam memilih keluar dari ruangan dan menelpon asistennya. Sedangkan Kayden menscroll t*ktok. Kalo Aiden sama seperti Zea, menunduk. Diam.

🐿️

Lima hari berlalu.

Zea memilih tidak sekolah dan menemani Bundanya. Ia hanya diam sambil duduk di kursi sebelah brankar tempat Bundanya tidur.

"Bunda..." lirih nya. Ia mencium punggung tangan Anna yang tidak diinfus.

"Zea kangen omelan Bunda, Zea kangen masakan Bunda, apa Bunda gak kangen sama Zea?" Zea mulai menangis, ia menggenggam erat tangan Bundanya.

Hanya ada dirinya dan Bundanya di ruangan tersebut. Jadi, Zea bisa bebas berekspresi.

"Apa Bunda gak mau liat Zea untuk terakhir kalinya?" Zea mendongak, menatap Bundanya yang matanya masih terpejam. Ia kembali menunduk. Terisak pelan.

"Izinkan Zea mendengar suara Bunda untuk terakhir kalinya, Zea mohon..."

"Zea mohon..."

"Zea, putriku."

Deg

Zea langsung mendongak ketika mendengar suara Bundanya. Tapi, harapannya pupus, Bundanya tetap tidak membuka matanya.

Alat monitor berbunyi cepat di samping tempat tidur yang membuat jantung Zea terasa merosot. Ia menoleh ke alat yang mendeteksi oksigen, suhu dan detak jantung Bundanya itu, layarnya perlahan membetuk garis yang bergerak lurus.

Buru-buru Zea memencet tombol pemanggil dokter. Nafasnya memburu. Bibirnya bergetar kala layar alat tersebut sudah bergaris rata. Tidak ada gelombang lagi.

Zea menggeleng. Ia berseru memanggil Bundanya, gadis itu terus menggoyangkan tubuh Bundanya. Tapi, tidak ada reaksi apapun. Kedua mata indah Bundanya masih terpejam.

"BUNDA! AAAAKHH!" Teriak Zea frustasi. Tubuhnya di pegangi oleh perawat yang baru tiba bersamaan dengan dokter yang merawat Bundanya.

Sang dokter memeriksa dan mencoba membuat detak jantung Anna kembali berdetak. Tetapi, tetap tidak berhasil.

Zea menggelengkan kepalanya kala sang dokter menatap Zea sendu dan meminta maaf. Kemudian sang dokter berkata, "Waktu kematian pukul 15.46,"

"ENGGAK! INI PASTI MIMPI, KAN?!" Teriak Zea dan menampar dirinya sendiri. Ketika merasakan sakit, tangis Zea langsung pecah.

Ia menggeleng dan langsung memeluk Bundanya. Para perawat dan dokter tidak menghentikan, mereka hanya menunduk. Ikut bersedih. 

"Bunda...ini pasti mimpi, kan?"

With LIAM (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang