Extra Chapter : Liam

231 11 5
                                    

Sewaktu Zea terluka dan Liam menjauh.

"Bagaimana kondisi Zea, Dok?" Tanya Audrey cemas pada dokter yang telah memeriksa kondisi Zea.

"Kondisi pasien sudah membaik, tidak ada luka fatal atau luka dalam, namun ia cukup kehilangan banyak darah, tapi kalian tenang saja karena sudah ada cadangan darah di rumah sakit ini yang cocok dengan pasien, jadi hanya tinggal menunggu waktu hingga pasien siuman dan di pindahkan ke ruang rawat inap," jelas sang dokter.

Mereka yang mendengar penjelasan dokter tersebut, menghela napas lega.

"Terima kasih banyak, Dok."

"Sama-sama, kalo begitu saya pamit." Pamit dokter dan melangkah pergi dari ruang UGD.

"Liam, berkat kamu Zea bisa selamat, terima kasih ya," Audrey menggenggam tangan Liam sambil menatap Liam dengan berkaca-kaca.

"Iya, Tante." Jawab Liam pendek. Ia tersenyum tipis dan melirik pintu ruang UGD yang tertutup. Syukurlah kamu baik-baik aja, Zea.

Setelah mendapatkan kabar kondisi Zea yang baik-baik saja, Liam pun langsung pulang tanpa menunggu Zea sadar. Rasanya ketika melihat Zea, Liam ingin terus berdekatan dan ingin mempacari Zea.

Liam tidak mau, ia tidak mau terlalu dekat dan akhirnya ia gagal menahan dirinya untuk berpacaran. Itu sebabnya dia menekadkan dirinya untuk tidak berdekatan dengan Zea.

Sudah tiga hari Liam tidak melihat Zea. Rindu semakin melingkupi perasaannya, mengikatnya dan Liam merasa sesak karena itu.

Laki-laki itu merasa kosong tidak mendengar suara dan melihat wajah Zea secara langsung. Ia hanya melamun dan belajar selama Zea tidak masuk sekolah.

Hingga di saat Zea masuk sekolah, Liam kembali bersemangat, walaupun ia harus menjaga jarak dari Zea. Tapi, hanya melihat Zea dari jauh saja membuat perasaan Liam berbunga-bunga.

"Liam, apa ... lo masih belom menyukai gue? Apa lo gak mau jadi pacar gue?" tanya Zea pelan. Tubuh Liam menegang, ia menatap kedua mata Zea yang menatapnya penuh harap.

"Maaf," lirih Liam. Ia mengepalkan tangannya. Berusaha menguatkan dirinya. Tahan Liam!

Tidak ingin menatap wajah Zea yang memasang raut sedih itu, Liam pun melangkah menjauh dari taman belakang. Langkah tegapnya meninggalkan Zea ke dalam kesalahpahaman.

Maaf Zea, tapi ini yang terbaik. Aku tidak mau memilikimu dengan ikatan pacaran yang tipis seperti itu.

Liam menunduk sambil berjalan, tidak ada tanda-tanda Zea berjalan mengikuti nya. Ini ... pasti mereka akan menjadi asing.

Tidak pa-pa kita menjadi asing sekarang, Zea. Karena nanti, sepuluh tahun lagi tidak akan ada kata asing lagi di antara kita.

🐿️

Bertahun-tahun berlalu, Liam berhasil menggapai cita-citanya. Yaitu menjadi psikiater. Walaupun ia sibuk bekerja dan belajar banyak hal, tapi bukan berarti ia tidak memperhatikan Zea dari jauh.

Laki-laki itu setiap pulang kerja akan mampir ke universitas Zea kuliah dan ke rumah sakit tempat Zea bekerja, memerhatikan Zea dari dalam mobil, memastikan Zea baik-baik saja.

Liam mengepalkan tangannya melihat ada lelaki lain yang berusaha mendekati Zea. Namun, perlahan kepalan tangannya melonggar, ia terpaku melihat Zea yang menggeleng dan berlari menjauh dari lelaki itu.

"Zea ... apa boleh aku berharap kalo kamu masih mencintai aku?" gumamnya dengan tatapan sendu. Ia terus menatap Zea yang berjalan dan masuk ke dalam mobil baru yang sepertinya di hadiahi oleh Sam.

Liam tidak benar-benar menjauh dan menghilang. Ia selalu ada di belakang Zea. Memerhatikan dari jauh pujaan hatinya. Walaupun ia sibuk, tapi ia selalu menyempatkan untuk melihat Zea. Karena sehari Liam tidak melihat Zea, rasanya Liam merasa ada yang kurang dan kosong.

Hingga akhirnya hari dimana Liam siap melamar Zea. Dengan gugup Liam merapihkan jas nya.

"Anak Ayah udah siap mau nikah nih," goda sang Ayah. Rambutnya sudah mulai memutih, tapi wajahnya masih awet muda.

"Ayah, apa ... Zea akan menerima aku? Aku sudah menolaknya waktu sekolah, aku takut dia akan menolakku nanti." gusar Liam.

Ayah menaruh telapak tangannya di bahu putra nya itu, "Lakukan yang terbaik, jika kamu benar-benar mencintainya, yakinkan Zea kalo dengan kamu, dia akan bahagia. Kamu pasti akan membahagiakan dia, kan?" Spontan Liam mengangguk cepat.

"Kalo begitu jangan ragu, jangan takut. Karena sekarang kamu melamarnya untuk menjadi pasangan hidupnya, selamanya. Bukan untuk menjadi pacar yang sementara itu, jadi jika tujuanmu baik, pasti akan di lancarkan dan semuanya akan baik-baik aja," nasihat sang Ayah dengan bijak.

Liam tersenyum tipis, "Makasih Ayah."

"Hahaha ... sudah ayo! Jika terlalu lama Zea di ambil orang lain, lho!"

"Tidak boleh! Zea ... akan menjadi pasanganku, selamanya." Ayah tersenyum mendengarnya. Ia merangkul putranya itu sambil berjalan dengan langkah tegapnya.

Putra kita sudah dewasa, sayang. Apa kamu melihatnya? Dia berhasil menahan dirinya untuk tidak berpacaran, dia berhasil ... Batin Ayah dengan perasaan bangga.

Dia memang putra kita yang hebat, sayang.

🐿️🐿️🐿️


Extra Chapter nya itu aja yaa, bye byee👋🏻




With LIAM (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang