"Kenapa tuh bocah? Tumben jadi pendiam?" Tanya Novi yang baru saja datang ke kelas. Sebenarnya dia juga cukup kaget melihat Zea sudah ada di kelas sepagi ini. Padahal dia selalu saja datangnya pas banget bel berbunyi. Tapi, sejak Bunda gadis itu meninggal, dia jadi lebih rajin dan sedikit berubah.
Mia menunjuk pipi nya, "Sakit gigi." Jawab nya tanpa bersuara. Novi mengangguk mengerti, ia menoleh ke depannya, tepat kepada punggung Liam. Laki-laki itu hanya menunduk. Melihatnya dia seperti ada aura suram di sekitarnya. Aneh.
"Si Liam kenapa?" Bisik Novi pada Mia yang kembali membaca komik. Gadis yang di tanya itu mendongak, menatap Liam sekilas dan kembali menunduk. Membaca.
"Baru masuk dia udah begitu, gak tau kenapa, mungkin karena Zea gak ngucapin selamat pagi kayak biasanya," Jawab Mia dengan santai dan tidak peduli jika dua orang yang duduk di depannya mendengar suaranya.
Telinga Liam memerah. Ia langsung menelungkupkan wajahnya di sela kedua tangannya yang ia lipat di atas meja.
Sedangkan Zea yang tidak mood karena sakit gigi tidak mendengarkan hal itu. Ia yang dari tadi menelungkupkan wajahnya seperti Liam itu. Merintih pelan. Sakit. Rasanya ia tidak mau masuk sekolah, tapi sebentar lagi ujian. Ia tidak boleh bolos terus. Nilainya harus stabil dan meningkat. Jika turun, ia tidak akan bisa masuk universitas yang ia inginkan.
Ia harus berhasil menjadi dokter dan membuat Bundanya bangga di alam sana. Walaupun ia tidak bisa menyelamatkan Bundanya, yang terpenting, ia bisa menyelamatkan orang-orang di luar sana yang sakit.
Para murid yang baru datang menaikkan alis mereka, heran melihat Zea tampak tidak pecicilan dan bawel.
"Mereka kenapa?" Tanya Rasa. Mia meringis, Rasa adalah orang ke dua belas yang bertanya seperti itu.
"Zea sakit gigi," Tanpa bersuara Mia menunjuk pipinya sendiri. Ia sengaja tidak bersuara ketika memberi tahu Zea sakit gigi. Agar Liam salah paham dan merasa bersalah karena sudah menolak Zea.
Benar saja, Liam sedang mode overthinking. Zea marah? Gak mungkin. Katanya dia gak marah. Tapi, kenapa diam aja? Apa gue tegur duluan ya? Gak! Jangan bikin dia gak nyaman. Gak pa-pa Liam, tahan...tahan...
Sampai menjelang pulang sekolah, Zea tetap di mode pendiam. Raut wajahnya tidak baik. Suram. Auranya seperti mengatakan jangan menganggu dirinya.
Bel berbunyi, pertanda waktunya pulang sekolah. Liam melirik Zea yang memasukkan buku-buku ke dalam tas nya. Menguatkan tekadnya, Liam bertanya, "Zea, lo baik-baik aja?" Tanya Liam dengan raut wajah sedikit khawatir.
Zea mendongak dan menggeleng.
"Kenapa?"
Zea menunjuk pipinya dan bergumam pelan, "Sakit gigi." Liam mengerjapkan matanya, ia sedikit lega karena Zea tidak marah padanya.
"Kenapa sekolah?" Liam tersenyum tipis kala Zea hanya menunduk. Lelaki itu pun menyodorkan ponselnya, "Ketik aja."
Spontan Zea mendongak, pipinya merona. Dengan gerakan pelan Zea mengambil ponsel Liam dan mengetikkan sesuatu di aplikasi catatan.
Sebentar lagi ujian, gue gak mau nilai gue berkurang kalo gak masuk lagi.
"Kenapa?" Liam memiringkan kepalanya. Zea pun kembali mengetik dan memperlihatkan pada Liam.
Karena gue mau masuk universitas terbaik, supaya gue bisa jadi dokter.
"Cita-cita lo jadi dokter?" Zea mengangguk. Liam tersenyum tipis, "Gue psikiater, sama-sama mengobati, bukan?" Zea mendongak, terpaku.
Detak jantung keduanya berdegup tidak karuan ketika mereka saling bertatapan seperti itu.
Liam buru-buru mengalihkan tatapannya. Tahan Liam.
KAMU SEDANG MEMBACA
With LIAM (SUDAH TERBIT)
أدب المراهقين(Blom di revisi) Namanya Zea Aqilla, ceria, percaya diri dan tidak kenal takut. Karena sifat nya itulah banyak yang menyukai dirinya. Tapi, hanya satu laki-laki yang berhasil mencuri hati Zea. Namanya Liam Abrisam, irit bicara dan kaku. Tanpa berka...