14. Prinsip Liam

141 10 0
                                    

Novi menepuk pelan bahu Zea, "Lo serius beli es krim sebanyak itu?" tanya Novi heran.

Zea mengangguk, "Karena gue sekarang patah hati, harusnya makan es krim banyak, kan?" Novi melongo mendengarnya. Si gadis emosian itu langsung menggeplak bahu Zea. "Ya, gak gitu juga kali!"

"Lah, waktu itu lo patah hati terus beli es krim banyak, masa gue enggak?" Novi memejamkan matanya sejenak dan mencubit pipi Zea gemas.

"Itu gue, karena gue suka banget es krim, sedangkan lo sama es krim sukanya biasa aja, jadi jangan banyak-banyak! Kalo mau tuh makan mie ayam yang banyak! Kan lo suka mie ayam!" Mia yang dari tadi di belakang mereka menghembuskan nafas lelah.

"Cuman aku yang waras di sini," gumamnya dan berjalan melewati dua sahabatnya yang kembali berdebat.

Gadis itu mendongak, menatap snack kesukaannya, ketika ia ingin mengambilnya, seorang perempuan lebih dulu mengambilnya. Snack itu tinggal satu di rak, jadi Mia spontan menatap tajam perempuan yang sedang tersenyum lebar.

Tetapi, tatapan Mia berganti kaget ketika melihat perempuan itu bergelayut manja dengan laki-laki yang tersenyum hangat pada perempuan itu.

"Eric?" gumam Mia membuat dua pasangan itu menoleh pada Mia.

"Ah, Mia ...." Laki-laki itu tersenyum canggung dan ia menoleh ke belakang Mia. Novi yang berdiri di belakang Mia menatap laki-laki itu dengan tatapan tak percaya.

"Eric...dia...pacar lo?" tanya Novi ragu.

Eric perlahan mengangguk, "Iya, di—"

"Brengsek!" seru Zea dan langsung menarik tangan Novi. Keluar dari supermarket dekat rumah Mia.

Mia menatap sinis Eric dan ikut berlari mengikuti Zea. Ketika mereka sudah di luar, Novi hanya menunduk. Gadis yang biasanya marah-marah itu hanya diam.

"Nov, muka lo jelek!" Spontan Novi melotot dan mencubit pipi Zea gemas.

"Maksud lo?!" Tanyanya galak. Zea nyengir dan menepis tangan Novi. "Jelek!" Ledeknya dan berlari ke arah rumah Mia.

Novi mengepalkan tangannya, "Awas lo, Zea!" Seru gadis itu dan mengejar Zea yang tertawa senang.

"HAHAHA, AYO SINI KALO BISA!"

Mia perlahan tersenyum, ia berjalan santai sambil menatap kedua sahabatnya yang kejar-kejaran sambil tertawa bahagia. Suasana sedih tadi langsung sirna.

"Walaupun cuman aku yang waras, tapi kalo gak ada mereka berdua...rasanya benar-benar sepi," gumam nya dan tertawa melihat Zea terjatuh.

Persetan soal percintaan. Yang penting kita sama-sama terus.

🐿

Liam mengusap lembut tupai yang berada di tangannya. Raut wajahnya kusut. Ia masih terbayang wajah sedih Zea.

"Muka kamu kenapa kusut gitu?" Tanya sang Ayah yang baru menyirami tanaman. Ia baru pulang dari luar kota.

"Aku udah nyakitin perasaan Zea, Yah," lirihnya, menunduk dalam.

"Jangan bilang Zea suka sama kamu?" Liam mengangguk pelan. Ia menatap tupainya sendu.

"Padahal aku udah cukup dingin sama dia. Tapi, kenapa dia masih tetap suka?" Laki-laki itu kemudian mendongak. Menatap sang Ayah dengan tatapan luar biasa sedih.

Sang Ayah tertegun. Untuk pertama kalinya ia melihat putra satu-satunya begitu sedih.

"Pesona kamu berarti gak main-main, lagian kamu sedingin apa? Kalo dia tanya kamu gak pernah jawab, kan? Tapi ya, Ayah gak yakin kamu sedingin itu, kan kamu luar biasa bucin sama Zea, jadi mana mungkin kamu bersikap dingin? Maka—"

With LIAM (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang