Di tengah kota yang ramai, Hansel lontang-lantung menelusuri Depok. Ia bahkan tidak sadar telah menempuh perjalanan selama 19 menit dari kampusnya. Kini ia bahkan merasa dirinya menemukan hawa yang berbeda dari sebelumnya.
Daerah itu cukup ramai, tetapi tidak ramai seperti wilayah kampusnya. Matanya menatap pengendara motor yang melewati tubuhnya. Pemandangan kali ini lebih baik daripada yang sebelumnya.
Meskipun matanya tampak berkaca-kaca, tetapi tidak ada satupun orang yang menatapnya atau bertanya kepadanya. Kali ini hanya yang dirinya butuhkan, yaitu ketenangan bukan sebuah rasa kasihan. Ia sudah tidak peduli dengan keberadaannya yang tidak dianggap oleh dunia.
"Ayo Mas! Ayo Mbak! Mampir ke pameran lukisan kami."
Hansel mendengarkan teriakan keras itu dengan lama. Ia tertegun dengan menatap rombongan orang yang berada di depan pameran. Senyumnya terbit walaupun cuman beberapa detik. Seketika ia teringat akan kenangan masa lalunya.
Waktu ia berumur 11 tahun.
Hansel dulunya remaja yang ceria dengan sikapnya optimis. Ia menganggap jika apapun yang berdampak baik baginya harus dipelajari dengan keras. Sikapnya yang optimis selalu membawa dirinya kepada perhargaan kecil dari sekolahnya.
Semua itu terus berlangsung walaupun orang tuanya tidak pernah memberikan apresiasi atas kerja kerasnya. Bapaknya yang sibuk bekerja dan ibunya sibuk mengurus adik-adiknya. Ia tidak pernah mengelus mengenai sikap kedua orang tuanya karena mengira itu tanggung jawabnya sebagai anak sulung.
Namun, kenyataannya salah besar. Waktu itu ia menyukai melukis. Pihak sekolah mendukungnya juga membawanya ke dalam sebuah lomba. Ia meminta kepada ibunya dengan nada ceria.
Minat dan bakatnya ditolak dengan keras karena biaya buat cat juga kanvas yang mahal. Sejak saat itu ia menjadi sadar jika orang tuanya memang tidak menyayangi dirinya. Ia hanya terlalu naif jika tindakan ibunya itu hanya wajar memperlakukan anak sulung, seperti itu agar menjadi lebih tegar.
Anak sulung, anak tengah, atau anak bungsu. Semuanya harus mendapatkan kasih sayang yang setara. Itu yang ia dapatkan selama 20 tahun dalam kehidupannya. Semakin ia dewasa, ia semakin sadar tidak ada di dunia ini orang yang tulus. Di dunia ini hanya ada kekuasaan juga orang yang bisa bertahan hidup di alam liar.
Hansel menundukkan wajahnya dengan mengelap air matanya. Ingatan masa kecilnya begitu suram dan sungguh menyakitkan. Selalu mengingat masa lalu lama-lama akan mengikis hatinya dengan keji.
Waktu ingin pergi tubuhnya ditarik oleh seseorang masuk ke dalam kerumunan. Ia menepis tangan orang itu dengan menatapnya tajam. Namun, yang didapatkannya orang itu justru tertawa.
"Gila," desis Hansel yang menatap aneh pria tua. Pria itu sudah membawanya ke dalam kenangan buruk baginya.
"Tenang anak muda. Saya cuman ingin ajak kamu melihat karya lukis saja."
Pria tua itu membalik sebuah karya. Hansel terdiam dengan menatap lukisan itu. Rasanya ia menjadi ikut sedih melihat makna dari lukisan itu. Lukisan itu persis menggambarkan makna hidupnya dengan caranya sendiri.
Dua dunia berbeda terpisah oleh jurang kegelapan yang tak berujung. Di dunia yang terang, seorang bayi melayang di udara menikmati sinar matahari dan awan putih yang menghampar. Ia tak menyadari bahwa di bawahnya ada dunia yang gelap tempat roh-roh tersiksa dan terperangkap.
Di dunia yang gelap, seorang anak kecil berdiri di tepi jurang menatap nanar ke arah dunia yang terang. Ia merindukan cahaya dan kehidupan yang tak pernah ia rasakan. Di antara kedua dunia itu, seorang pemuda duduk di pinggir jurang memandang ke kedua sisi dengan tatapan bimbang. Ia harus memilih antara dunia yang terang dan dunia yang gelap, antara harapan dan putus asa, antara hidup dan mati.
Hansel menyentuh permukaan lukisan dengan tersenyum sendu. Ia merasakan gejolak dalam hatinya. Rasanya lukisan ini membawanya ke dalam jurang yang penuh kegelapan. Membawanya kepada masa lalunya yang suram.
"Berapa harga lukisan ini Pak Tua?" tanya Hansel yang masih mengelus lukisan itu dengan tatapan sendu.
"Ambil saja anak muda. Lukisan ini tidak dijual."
Hansel menatap pria tua itu dengan tatapan ragu berkata, "Anda yakin Pak Tua? Lukisan ini dilihat punya harga jual yang tinggi."
Pria tua itu justru tertawa dengan mengangguk pelan. Hansel masih ragu walaupun pada akhirnya berjalan membawa pergi lukisan itu. Setelah kepergian Hansel, pria tua itu seketika tersenyum misterius.
Di sisi lain, Hansel menatap lukisan itu dengan tersenyum. Ia sudah lama tidak mencintai seni, seperti sekarang. Rasanya ia merindukan masa-masa mencintai seni lukis.
"Anak muda awas!"
Bagaikan kilat tubuhnya dihantam oleh besi dingin. Ia tidak sempat menghindar, bahkan melihat saja tidak sempat. Ia ingin bicara, tetapi mulutnya dipenuhi oleh cairan merah. Ia hanya bisa melihat sebuah lukisan yang dipegang tangan lemah.
Air matanya jatuh dengan perasaan yang sangat menyakitkan. Dalam kematiannya saja sangat menyakitkan tiada henti. Tuhan sangat tidak menyukai dirinya dimanapun ia berada.
"Ibu ... Hansel kesakitan." Hansel membatin dengan merasakan kantuk yang menerpa dirinya.
Waktu Hansel telah menutup mata. Seketika angin membawa ribuan daun kering yang berdiri di depan lelaki itu. Waktu seketika berhenti dengan orang-orang yang menatap Hansel ketakutan. Di tengah-tengah daun itu muncul seorang pria paruh baya.
"Kehidupan kamu sungguh menyakitkan. Kali ini semuanya akan berubah dan kamu harus memanfaatkan dengan baik anak muda."
Setelah perkataan itu diucapkan keadaan berubah menjadi normal. Orang-orang yang ada di sana menatap ambulan tiba. Tubuh Hansel dibawa dengan berhati-hati.
"Pahitnya kehidupan tak berhenti hingga ajalku tiba. Tetapi dalam kegetiran itu, aku menemukan keikhlasan dan kekuatan yang tiada tara. Kematian bukanlah akhir, melainkan titik balik menuju keabadian."
Seseorang pemuda terlihat memegang kepalanya. Ia membuka matanya perlahan yang memperlihatkan pemandangan beberapa wanita paruh baya. Para wanita tua itu menatapnya penuh ketakutan, bahkan terlihat makanan yang berserakan di atas lantai.
Ia tidak tidak mengerti dengan keadaan sekarang. Kepalanya bahkan sangatlah pusing. Tiba-tiba muncul ingatan dirinya yang mengalami kecelakaan dasyat. Ia kembali membuka matanya dengan terkejut.
Ia ialah Hansel Bima Nugroho, ia baru saja mengalami kecelakaan. Sekarang ia justru berada di tempat yang sangat asing baginya. Ia berada di sebuah kamar berwarna biru muda dengan percampuran putih gading.
"Ini dimana?" tanya Hansel dengan mengerutkan keningnya. Ia harus mengklarifikasi walaupun agak kebingungan saat kini.
"Eumm ... itu ... Jakarta."
"Iya, saya juga tahu ini Jakarta. Maksudnya saya tempat yang spesifik," balas Hansel dengan menghela napas.
Semua wanita paruh baya itu seketika berlutut. Hansel yang melihat seketika terkejut. Ia ikut berlutut dengan membantu para wanita tua itu berdiri.
"Ini ... Kompleks Perumahan Bukit Golf Pondok Indah, Tuan Muda."
"Tuan Muda!" pekik Hansel dengan menatap tidak percaya.
###
Jangan lupa vote dan komen :v
Loh, ada apanih🤔
Lanjut 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Paralel
RandomDi sebuah tempat yang penuh ketidakadilan. Hansel Bima Nugroho merupakan sosok pion yang tidak berdaya. Hansel terjebak dalam sebuah labirin kekejaman yang didominasi oleh Harlan Prince Leonardo, sosok yang kuat layaknya Enigma dari kalangan atas. N...