7

586 72 5
                                    

"Berhenti!!!!"

Bagaikan petir yang menggelegar. Suara itu membuat penghuni kelas menjadi diam. Tidak ada suara mengadu domba juga jepretan foto. Tidak ada satu orang yang bercanda, bahkan Hansel dan Harlan yang sedang bertengkar saja menjadi diam.

Tangan Harlan masih mencengkeram kerah bajunya. Hansel berada di bawah lelaki itu. Mereka masih diam tanpa mengatakan pernyataan apapun. Teriakan dari ketua program studi membuat mereka menjadi segan untuk melawan perintahnya.

"Bangun dan kembali ke tempat duduk!"

Hansel mendorong tubuh Harlan yang berada di atas tubuhnya. Ia berdecak kesal karena tidak menyukai keberadaan lelaki itu. Ia memilih tempat duduk di barisan kedua karena hanya kursi itu yang kosong.

Namun, sepertinya dosennya tampak tidak menyukainya. Mulai tadi dosennya terlihat menatapnya tajam tanpa mengatakan apapun. Ia yang ingin memperhatikan dosen itu pun menjadi lebih canggung.

"Siapa suruh kamu duduk di belakang?"

Hansel menunjuk dirinya dengan tidak percaya. Di hari pertamanya, ia bahkan membuat kesan buruk terhadap dosennya. Lalu bagaimana nasib ke depannya. Ia berharap semester ini tidak ada mata kuliah yang mengulang. Itu saja harapan darinya.

"Duduk di depan!"

"Tapi, Bu. Kursi di depan sudah penuh," jawab Hansel dengan berhati-hati takutnya justru akan menyinggung perasaan dosennya.

Dosennya tanpa membalas jawabannya. Dosen itu berjalan dengan menyeret pria yang duduk di samping Harlan. Pria itu berdiri di depan kursinya dengan menatap dosennya bingung juga memelas. Berbeda dengan Hansel yang menahan senyum juga menatap remeh lelaki itu.

Hansel berdiri dengan membawa tasnya. Ia berjalan melewati sang dosen dengan tersenyum. Senyumnya itu membuat penghuni kelas menjadi terkejut, bahkan beberapa ada yang kagum dengannya.

"Cuk, manis banget senyuman Hansel!"

"Njir, baru tau gue Hansel bisa senyum!"

Hansel yang mendengar itu tidak menjadi bangga. Ia hanya ingin belajar dengan baik selama kuliah setidaknya bisa mengubah pandangan orang lain tentang dirinya. Terutama ia ingin merencanakan sesuatu.

Mata kuliah Etika Bisnis dimulai dengan pemaparan. Pemaparan materi dilakukan oleh dosen sesekali menatap kepada Hansel juga Harlan. Hansel hanya diam dengan memperhatikan dosen, sedangkan Harlan tampak mencatat materi yang dipaparkan. Tindakan yang dilakukan oleh Harlan juga tidak lepas dari pandangan Hansel.

Hansel terlihat menatap sinis lelaki itu dengan bergumam, "Sok, banget. Biasanya juga tidur mulu waktu ada kelas."

"Dalam konteks Etika Bisnis, insiden dua orang yang bertengkar karena pandangan merendahkan mencerminkan pentingnya aspek etika dalam interaksi sehari-hari. Pertama, situasi tersebut menciptakan potensi ketidaknyamanan di lingkungan kerja, yang dapat merugikan produktivitas dan kolaborasi. Kedua, dari perspektif etika, penting untuk menilai bagaimana pandangan dan tindakan tersebut dapat melanggar prinsip-prinsip moral, seperti saling menghormati dan tidak merendahkan."

Hansel cuman mengangguk pelan. Pernyataan itu memang sangat benar, tetapi ia tidak perlu memberikan rasa hormat kepada manusia tanpa hati. Pembelajaran ini terus diperhatikan sampai 2,5 jam lamanya.

Kelas telah berakhir tidak ada ada seorang pun yang ingin berlama-lama dalam kelas. Di sini hanya Hansel yang sibuk memasukkan barangnya sesekali memperhatikan agar tidak ada yang ketinggalan. Tindakannya tidak luput dari perhatian Harlan dengan teman-temannya yang berada di depan kelas.

"Har, itu rasanya kenapa Hansel makin benci sama lo, ya?"

"Nggak tau juga gue," jawab Harlan dengan menatap pria nakal itu.

Harlan bingung juga tanpa alasan. Biasanya Hansel hanya memberikan tatapan dingin kepadanya, bahkan tidak berani melontarkan kata-kata menusuk. Hari ini lelaki itu justru memberikan tatapan tajam juga perkataan yang tersirat penuh amarah.

Kemarahan lelaki itu membuatnya sedikit penasaran. Harlan tidak pernah dibuat penasaran sama orang lain seumur hidup. Apalagi penasaran dengan rivalnya. Dimana rival untuk mendapatkan kepopuleran walaupun dirinya pasti lebih populer.

Tap! Tap! Tap!

"Hi, Hansel!" sapa Harlan tampak mengulang kejadian yang sama.

Hansel hanya bisa dengan memberikan tatapan tajam, seperti yang diduga oleh Harlan. Hansel hanya diam tanpa tersulut emosi lagi. Ia hanya berpikir jika harus bermain dengan cantik.

Hansel menepuk pundak Harlan dengan tenang. Ia memberikan senyuman misterius yang membuat teman-teman Harlan menjadi agak takut. Senyuman itu bukan kebencian biasa.

"Sampai jumpa dengan api neraka," bisik Hansel dengan melirik wajah Harlan yang tampak terkejut.

Di tempat menyisakan Harlan yang kebingungan. Ia menatap Hansel yang semakin menjauh. Di matanya muncul tatapan tertarik.

"Gue mau sama dia," ungkap Harlan dengan menyeringai.

Galen Zane Alexander, pria pemain jenius dalam menaklukkan targetnya. Zane walaupun terkenal tidak mempunyai perasaan lelaki itu masih mempunyai hati kepada sahabatnya. Apalagi sahabatnya ini masih belum pernah mempunyai pasangan seumur hidupnya.

"Har, lo yakin? Ini Hansel kek bukan dirinya yang dulu. Apalagi senyuman dia itu keknya nggak kayak biasa," beber Zane dengan meringis kecil. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika lelaki itu berhadapan dengan Hansel.

"Gue setuju sama pendapat Zane. Lo keknya nggak harus sama Hansel," sahut sahabatnya yang lain. Jay Sekarn William, sosok yang paling tua di dalam geng ini. Namun, walaupun terlihat dewasa Jay merupakan sosok yang paling sadis di antara anggota gengnya. Apalagi Jay merupakan ketua geng, sehingga sikap sadisnya selalu ditunjukkan kepada orang lain, kecuali Hansel yang merupakan anak berpengaruh juga licik.

Berbeda dengan salah dua sahabatnya, yaitu Ravindra Axel Dirgantara dan Alvarro Reyhan Galilee. Dimana Ravi itu diam-diam, tetapi suka menyerang seseorang tanpa tahu alasannya. Juga Varo yang merupakan sosok pendiam, tetapi menyesatkan. Biasanya Varo yang memberikan ide paling licik dan keji.

"Gas aja, Har! Kalo dia sakiti lo bilang, nanti gue ajar!" teriak Ravi dengan mengangkat tangannya.

"Bagus, juga ide lo!" sahut Harlan dengan senyum terpaksa.

Plak! Plak! Bugh!

Varo tersungkur di lantai dengan mengelus kepalanya. Tatapan lelaki itu terlihat memelas. Berbeda dengan teman-temannya yang justru tertawa tanpa niat membantu.

"Mampus!" ejek Varo dengan tertawa sangat puas.

Harlan yang mendengar justru mengelus dadanya. Ia tidak pernah habis pikir dengan sikap para sahabatnya.

"Anjir, gue dulu mikir apaan, ya? Gimana bisa gue dapat sahabat kek lo pada?" ungkap Harlan dengan mengelus dagunya seolah tengah berpikir.

"Aelah, jangan sok mikir! Otak lo aja ada di dengkul," cibir Ravi menatap Harlan dengan cengengesan.

Harlan yang mendengar itu hanya mengangkat pundaknya. Ia tertarik bukan dari segi rasa suka, tetapi tertarik untuk memberikan rasa neraka. Jika lelaki itu memulai, ia juga akan memulai dengan rasa sakit yang sama.

"Lo pada harus ngikutin rencana gue," ucap Harlan dengan menyeringai kecil.

Lalu sejak saat itulah permusuhan mereka dimulai.

***

Jangan lupa vote dan komen :v
Wkwk, belum tau aja kan ya😏
Lanjut!!

Dendam ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang