16

364 43 1
                                    

Hansel memijat pelipisnya, sekarang ia tidak bisa berpikir dengan jernih walaupun duduk di samping adiknya. Ia tidak pernah berpikir akan mendapatkan hukuman yang membuatnya menderita. Jika hukuman ia dapatkan sendirian tidak masalah, tetapi ia dan teman-temannya mendapatkan hukuman bersama rival mereka.

10 menit yang lalu.

Hansel menatap dosennya bingung. Apalagi salahnya, padahal dirinya sudah membuktikan jika mereka tidak bersalah. Dalang utama dalam kasus ini, yaitu Harlan dan teman-temannya.

"Maksud, Prof?" tanya Hansel dengan mencoba setenang mungkin. Ia tidak mungkin bukan berdebat dengan dosen, apalagi dirinya masih harus menjalani kuliah selama 3 tahun.

Profesor yang satu itu tidak menjawab pertanyaannya. Ia mengeluarkan sebuah kertas dan menulis sesuatu. Hansel hanya pasrah menunggu sang dosen yang menulis. Dimana hampir 15 menit lamanya ia bersama adiknya menunggu di dalam ruangan.

"Hansel, kamu tahu sendiri jika kalian berada di pesta walaupun tidak melakukan apapun. Lalu saja menebak orang yang menyebarkan video itu tidak lain kamu dan temanmu itu. Kamu dan temanmu sudah membuat nama baik universitas kita menjadi buruk. Tentu saja, kamu harus merasa bersalah dan bertanggung jawab."

"Ah, itu. Masalah itu tinggal dialihkan ke isu mereka bukan? Ini tidak ada kaitan dengan universitas kita," jawab Hansel mengangkat pundaknya seolah tidak memperdulikan hal itu.

"Itu menurut kamu, lalu bagaimana dengan pandangan masyarakat? Dengan kasus ini membuat masyarakat tidak mempercayai universitas kita lagi."

Hansel mengangkat alisnya ternyata dosennya sedang mengkhawatirkan akreditasi universitas. Kasus yang mencoreng nama baik universitas justru akan memengaruhi kinerja staf, dosen, dan mahasiswa. Namun, ia tidak memperdulikan hal itu lagi. Bisa dibilang egois, padahal Arka sudah memperingati dirinya.

Dunianya sekarang hanya penuh rasa dendam. Rasa ingin menghancurkan geng lelaki yang menyiksanya dulu. Ia akan membuat lelaki itu menderita sebisa mungkin.

"Profesor kenapa khawatir? Bukankah kampus kita sering bermasalah. Dari kasus wanita yang video syur disebarkan mantan pacarnya, dosen yang dekat dengan mahasiswa, LDK tiap program studi yang tampak seperti peloncoaan, dan PKL berkedok klub malam. Bukankah itu sudah biasa? Hanya saja tidak ketahuan oleh masyarakat luar," ucap Harlan yang terlihat santai disaat dosennya sudah murka.

"Kamu ..."

"Bukankah tidak adik jika hanya kami yang dihukum? Sedangkan banyak kasus yang lebih parah dibandingkan kami. Oh, iya jangan lupa video kasus lelaki sama lelaki ciuman. Bukankah itu juga tidak beretika," timbal Varo yang akhirnya bersuara setelah beberapa hari hanya diam.

Dosen mereka hanya bisa terdiam dengan menahan amarah. Sama halnya dengan Hansel yang baru mengetahui jika kampusnya memang di luar nalar, bahkan mungkin ada hal yang lebih parah dibandingkan ini. Shinta yang orang luar pun hanya bisa tertegun mendengar kasus dari kampus terbaik di kota mereka.

"Sama politik kampus jangan lupa! Diingat sadis sama tega juga," cibir Ravin yang terlihat sangat kesal.

"Cukup! Kalian ini bahas apa?!"

Suara teriakan profesor memang sangat mantap. Seketika tidak ada lagi orang-orang yang mengobrol. Pada akhirnya mereka menatap wajah profesor dengan serius.

"Harlan dan teman-temannya dapat hukuman untuk melayani masyarakat selama 1 bulan 15 hari di pedalaman Kalimantan. Kalian akan menyelenggarakan pelatihan untuk pengelolaan SDM di tingkat lokal."

Wajah Harlan dan keempat temannya tidak lagi tenang. Mereka mulai menunjukkan raut wajah panik. Orang tua mereka juga tampak tidak menyetujui hukuman yang diberikan oleh profesor itu. Hal itu sama saja menyiksa mereka pikir Harlan.

Justru berbeda dengan Hansel. Ia justru sangat senang melihat lelaki itu menderita, bahkan ia hampir tidak bisa menahan tawanya. Dimana yang ia ketahui Harlan merupakan anak tunggal pastinya sangat dimanja dan tidak bisa hidup mandiri. Ia sangat yakin lelaki itu akan menderita dan menangis.

"Tidak ada hukuman yang lain, Prof?" tanya Galen dengan memberikan senyuman terbaiknya.

"Hukuman lain? Tidak ada! Keputusan saya sudah bulat. Sekarang kalian tanda tangan di kertas kosong ini!"

Galen hanya pasrah begitu juga Harlan yang tampak tidak bersemangat. Hansel membuka ponselnya, ia diam-diam merekam wajah kelima remaja yang terlihat tertekan terutama Harlan. Ia memperbesar wajah Harlan dalam rekaman video.

"Lalu untuk kamu Hansel!"

"Oh, iya, Prof!" seru Hansel yang panik karena hampir saja ketahuan memainkan ponsel.

"Kamu juga ikut sama mereka berlima melayani masyarakat. Jangan lupa sampaikan kepada ketiga temanmu itu!"

Hansel menunjuk wajahnya dengan sangat terkejut, bahkan tanpa sadar rahangnya menjadi turun. Hampir berapa lama rahangnya turun menatap dosennya. Jika bukan karena bantuan Shinta mungkin selamanya Hansel akan terus seperti itu.

"Kenapa saya dan teman-teman juga ikut terlibat, Prof? Kami itu bukan dalang pesta itu," protes Hansel yang mencoba menahan untuk tidak berteriak marah kepada dosennya.

"Karena kalian menyebabkan reputasi universitas menjadi buruk."

"Kalau gitu mending gue buat lebih buruk aja sekalian," gumam Hansel dengan raut wajah masam.

"Kamu bicara apa, Hansel?"

"Tidak ada, Prof." Hansel hanya tersenyum palsu menanggapi dosennya.

Pada waktu itu juga Hansel hanya bisa pasrah. Ia sama sekali tidak bisa meminta keringanan dari dosennya. Akhirnya ia dan adiknya keluar dari ruangan tanpa mengatakan sesuatu.

"Gue bisa gila! Yang bener aja gue kena imbas!" murka Hansel dengan menarik rambutnya.

"Sabar, Bang." Shinta bahkan sama sekali tidak bisa membantu dirinya.

***

Waktu bertemu dengan ketiga sahabatnya. Ia sudah memberi tahu hukuman yang akan mereka tempuh. Awalnya mereka protes, tetapi menerima juga walaupun tidak sepenuhnya terima.

"Gini gue terima aja kalau kita-kita aja yang dihukum. Tapi kenapa harus sama mereka, Bang?!" gerutu Yolan dengan menarik rambutnya.

Miko juga hanya bisa diam dengan raut wajah cemberut. Lelaki itu mungkin tengah berpikir tentang nasibnya di sana. Dimana lelaki itu tidak bisa makan dengan sepuasnya.

Berbeda dengan Arka yang cukup tenang. Ia menatap Hansel dengan menghela napas sesekali. Mungkin lelaki itu sudah pasrah dan menduga akan terjadi hukuman seperti ini.

"Gue udah bilang, Han. Jangan pakai cara kayak gini," celetuk Arka begitu saja dengan mendengus.

"Iya, maaf. Gue udah tau masalahnya bakal kayak gini, tapi gue benci sama mereka," desis Hansel dengan tatapan matanya yang berubah menjadi penuh kebencian.

"Kenapa lo benci banget sama mereka? Mereka ada salah apa sama lo? Biasanya kalau ketemuan kayak biasa aja," ucap Arka yang tidak lagi terlihat kesal seperti tadi.

Hansel mengangkat pundaknya berkata, "Lo nggak bakal paham, Ar."

"Kita nggak bakal paham kalo lo nggak cerita, Han. Lo kenapa berubah?" tanya Arka dengan memijat pelipisnya. Berakhir Arka yang meninggalkan Hansel bersama Miko dan Yolan.

Hansel menatap kepergian Arka tanpa mencoba mengejar maupun menjelaskan. Ia tidak mungkin mengatakan jika dunia yang menjadi tempatnya dulu berbeda dengan dunia ini. Di dunianya lelaki itulah yang membuat dunianya kelam.

"Maafin Arka, Han. Lo tau sendiri orang yang paling peduli sama kita itu Arka. Orangnya emang pendiam, tapi dia yang paling khawatir sama kita-kita," nasihat Miko dengan mengelus punggung Hansel.

"Iya, Miko. Gue nggak maksud nyimpen rahasia, tapi masalah ini rumit dan lo pada nggak bakal paham," lirih Hansel dengan menundukkan wajahnya.

***

Jangan lupa vote dan komen ^_^
Maaf ya telat tadi sibuk di rumah😁
Lanjut!!

Dendam ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang