~Happy Reading~
***
Rintik yang mengguyur kian deras seiring langkah yang mendekat pada tujuan. Angin yang berhembus dingin tampak tidak mengusik tubuhnya yang kini bergetar menggigil. Jemarinya mengusap satu nama yang terukir di atas batu nisan di tengah pekat yang membuatnya samar terbaca.
"Mama," suaranya lirih teredam rintik yang kini menjelma menjadi hujan yang lebih deras.
Jungkook meletakkan setangkai mawar putih yang sebelumnya sempat ia beli karena ingat jika sang ibu menyukai bunga itu.
Tidak ada penerangan apapun di tempatnya kini duduk. Hanya gelap pekat dengan sesekali kilat menyambar menampakkan cahayanya yang kebiruan dan menyilaukan. Jungkook merengkuh lututnya dengan kedua tangan, menumpukan dagu di sana dan memandangi nisan sang ibu.
"Bohong, kan, Ma? Aku anak Mama, kan?" Jungkook tersenyum getir ketika menyadari hatinya terbagi antara percaya dan tidak.
"Aku bingung, Ma. Aku nggak percaya, tapi aku kepikiran terus sampai kepalaku sakit. Jantungku juga sakit setiap aku inget apa yang Paman itu omongin di apart Yoongi Hyung." Jemarinya mencabut rumput liar yang kini basah oleh hujan. Mencoba untuk membuat pusara ibunya tetap cantik tanpa adanya tanaman liar yang mengganggu.
Rasa perih di sudut bibir serta punggung tangannya sama sekali tidak ia pedulikan. Hatinya jauh lebih tidak nyaman dengan perasaan asing yang kini bersarang.
Kedua pandangan matanya mengabur seiring dengan air mata yang kini berjubel dan saling mendesak untuk jatuh membuat aliran anak sungai di pipi yang bahkan sekarang sudah basah oleh hujan.
"Tolong adek, Ma. Adek butuh Mama," Jungkook mengambil jeda. Wajahnya disembunyikan pada lutut yang masih setia ia rengkuh dengan kedua tangannya. "Mau dipeluk Mama ... sebentar aja."
Bahunya berguncang. Jungkook tidak tahu kenapa ia seperti ini. Kalimat Juyeon tidak seharusnya ia percaya dengan mudah, namun sisi kecil hatinya benar-benar membuatnya bimbang.
"Aku harus gimana? Cerita sama siapa? Papa udah sibuk lagi, Jin Hyung udah berubah, Namjoon Hyung juga sering sibuk, Taehyungie Hyung ... Dia cuma datang setiap aku udah jatuh," isak tangisnya meremang, berpadu dengan gemuruh di langit serta suara hujan yang memekakan telinga. "Mau sama Mama. Cuma Mama yang selalu bisa jadi pendengar aku setiap aku jatuh. Mama..."
Jungkook menggeleng lemah. Wajahnya yang berantakan tersembunyi di atas lututnya dan menangis kencang. Banyak tanya dalam benak yang sulit ia temukan jawabannya. Perasaan-perasaan asing yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan terasa begitu mengusik dan membuat air matanya enggan untuk berhenti.
Hal itu membuat Jungkook sadar, hidupnya terlalu diselimuti kebahagiaan sampai ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya sakit. Orang-orang di sekitarnya memeluk terlalu erat, hingga ketika salah satunya merenggang rasanya membuat tubuhnya kedinginan karena membuat celah untuk angin menerobos masuk menyentuh dirinya.
Sakit. Kepala Jungkook seperti dihantam batu besar yang membuatnya memekik kala suara Juyeon yang membicarakan Jira kembali terdengar di telinganya.
Apa yang dibicarakan Juyeon rasanya menjadi masuk akal sekarang. Alasan Jira menikahi Daejun terlalu simple dan semakin dipikirkan semakin tidak logis menurut Jungkook.
Ingatannya kembali pada momen ia menghabiskan sedikit waktu berdua dengan Jira di restoran Perancis sore itu. Berbicara empat mata dan mendengar alasan Jira yang menawarkan diri untuk menjadi ibu sambung dengan alasan dirinya yang masih butuh sosok ibu.
Jantungnya kian berdetak tidak karuan saat ia juga ingat kalau Jira adalah teman SMA ibunya yang pernah ibunya ceritakan padanya. Benang kusut di kepalanya perlahan mulai terurai, namun sisi lain hatinya tetep menampik semua itu sampai membuat kepalanya serasa ingin meledak karena peperangan yang terjadi antara iya dan tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta [TERBIT]
FanfictionDia si prioritas 3 kakak kandung dan 3 kakak sepupu. Dia yang selalu jadi pusat kebahagiaan dan kasih sayang keluarga besar. Dia yang sejak kecil sangat dijauhkan dari hal-hal yang bisa memicu timbulnya rasa sakit pada tubuh dan hatinya. Terlalu sem...