~Happy Reading~
***
Jihoon menghela napas lelah ketika membuka pintu rumah dan mendapati rumah kosong, karena Daejun dan Jira sudah berangkat ke Dubai untuk perjalanan bisnis selama beberapa hari.
Jihoon melempar tasnya ke sofa, lalu beralih ke dapur untuk mengambil air minum. Sunyi rumah ini terasa mencekam. Benar-benar tidak ada suara selain suara langkah kakinya. Para maid dan penjaga yang bertugas sudah diminta pulang jika sudah jam empat sore. Itu semua peraturan baru dari Daejun sejak insiden ulang tahun Jungkook. Katanya, supaya tidak ada yang sembarangan membuatkan makanan untuk Jungkook.
Jihoon berdecak kesal mengingat bagaimana keluarga ini begitu posesif pada Jungkook. Berlebihan menurutnya, padahao Jungkook sudah besar dan seusianya.
"Wah, ternyata rumah baru anakku besar juga."
Kaki Jihoon mematung mendengar suara itu menggema di tengah sunyi. Perlahan, kepalanya menoleh untuk melihat sosok laki-laki paruh baya yang paling dia benci selama hidupnya.
Park Juyeon. Ayahnya.
"Kaget bisa liat Papa di sini?"
"Pergi." tegas Jihoon. Tatapannya dingin pada Juyeon yang justru membuat Juyeon tertawa remeh dan berjalan mendekat.
"Papa mau nikmati suasana rumah kamu dulu," Juyeon mendudukkan dirinya pada kursi meja makan yang menurutnya sangat mewah dengan ukiran berwarna gold. Sangat jauh berbeda dengan kursi meja makan di rumahnya yang biasa saja. "Kamu belum transfer."
Jihoon tertawa sinis. "Gue nggak takut sama ancaman lo. Buat gue, lo bukan bokap gue lagi." ketusnya.
Jemarin Juyeon mengetuk-ngetuk meja makan mendengar kalimat kurang ajar yang terlontar dari bibir Jihoon. Tujuannya ke sini adalah meminta hak uang sebagai ayah kandung Jihoon, jadi dia akan sebisa mungkin menahan emosinya yang kini semakin naik.
"Jihoon, jangan kurang ajar sama Papa. Apa yang Papa bilang di chat itu nggak main-main loh." katanya, mengingatkan Jihoon akan pesan yang sebelumnya dia kirim pada Jihoon.
Tangan Jihoon terkepal kuat. Dadanya bergemuruh sebab marah yang mulai mengambil alih dan melupakan batas sabar yang seharusnya selalu ia pegang.
"Dia nggak tau apa-apa. Jangan pernah libatkan dia!" tegas Jihoon lagi. Matanya menatap nyalang kedua mata Juyeon yang kini menyipit karena bibir laki-laki itu tersenyum. Senyum kemenangan.
"Makanya, turutin semua kemauan Papa—"
"Sial banget gue punya bokap sakit jiwa kayak lo yang bisanya cuma meres duit anaknya." desis Jihoon. Tawanya sarkas, mengundang amarah Juyeon yang memang sudah mendidih, kini meledak.
Plaak! Jihoon terhuyung. Pipinya panas disertai rasa nyeri yang menjalar. Dulu, rasa ini hampir setiap hari dia rasakan sampai ia mati rasa, namun hari ini rasanya menyakitkan. Sepertinya, ia semakin jatuh dan terlena dengan kehidupan nyaman yang penuh kelembutan dalam keluarga Daejun.
"Papa udah bilang jangan kurang ajar." geram Juyeon.
Jihoon menengadah. Menatap Juyeon dengan tatapan menantang yang membuat napas Juyeon semakin memburu.
Cuih! Jihoon meludah tepat mengenai wajah Juyeon yang membuat laki-laki itu membeku sesaat. Jihoon, putranya meludahinya dan menatapnya remeh.
"Jangan nyebut diri lo sebagai Papa, karena lo sama sekali nggak pantes buat menyandang gelar itu!"
Juyeon mencengkram kasar dagu Jihoon sampai membuat kaki Jihoon berjinjit. "Kamu makin mirip sama Mamamu. Sama-sama nggak bisa diandelin dan bikin susah! Harusnya, dulu Papa bunuh aja kamu sama saudaramu biar nggak nyusahin!"
![](https://img.wattpad.com/cover/354223859-288-k146336.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta [TERBIT]
FanfictionDia si prioritas 3 kakak kandung dan 3 kakak sepupu. Dia yang selalu jadi pusat kebahagiaan dan kasih sayang keluarga besar. Dia yang sejak kecil sangat dijauhkan dari hal-hal yang bisa memicu timbulnya rasa sakit pada tubuh dan hatinya. Terlalu sem...