~Happy Reading~
***
Jira menghela napas, menatap sendu wajah terlelap Jungkook yang masih meninggalkan jejak sembab setelah menangis cukup lama di pelukannya. Jemarinya mengusap pelan rambut Jungkook dengan bayang-bayang yang masih membuatnya kecewa.
Jungkook terus memanggil nama Arra sebagai ibunya, bahkan ketika ia membenarkan dengan namanya untuk disebut, Jungkook tetap memanggil nama Arra.
"Memangnya kamu yakin anak itu anakmu?"
Gerakan tangan Jira terhenti kala suara itu memasuki rungunya dan bayangan masa lalu tentang percakapan terakhirnya dengan salah satu temannya kembali melintas.
"Anak yang sekarang hidup sebagai anak Arra dan sebaya sama Jihoon cuma Jungkook,"
"Tapi, apa kamu benar-benar yakin? Maksudku, gimana kalau itu bukan bayimu dulu? Nggak mau tanya dulu?"
Tangan Jira terkepal sembari menelan saliva. Ia belum menanyakan apapun perihal masa lalu pada Daejun, namun perasaannya begitu yakin kalau Jungkook adalah benar anak bungsunya yang ia serahkan pada Arra dulu.
Tetapi, ia juga mulai ragu sebab Jungkook yang seperti tidak memiliki ikatan batinnya dengannya sebagai ibu dan anak. Sebaliknya, Jungkook justru memanggil nama Arra dan menganggap dirinya sebagai Arra ketika ia peluk erat.
"Dia anakku."
Ya, Jira mencoba meyakinkan dirinya lagi. Keraguan yang sempat tumbul, ia tenggelamkan lagi dengan perasaan yakin yang sebenarnya masih gamang. Jira hanya merasa feeling seorang ibu tidak akan pernah salah.
•••
Jihoon baru saja turun untuk meletakkan kembali mangkok bubur ke dapur ketika berpapasan dengan Jira yang baru saja keluar dari kamar Jungkook. Rahangnya mengeras melihat ekspresi sedih yang tergambar jelas di wajah Jira. Hal yang paling dia benci ketika ada yang membuat wajah cantik ibunya bersedih.
Jira menoleh ketika menyadari kehadiran Jihoon yang masih berdiri di anak tangga terakhir sembari memegang nampan. Cepat-cepat ia merubah air wajah supaya Jihoon tidak berpikiran yang macam-macam karena wajah sedihnya. "Udah habis buburnya Seokjin?" tanya Jira lembut.
"Udah," jawab Jihoon singkat.
Jira tersenyum senang mendengarnya, kemudian mengambil alih nampan dari tangan Jihoon dan membawanya menuju wastafel untuk langsung ia bersihkan. Tidak ada percakapan apapun antara dirinya dan Jihoon selama ia membersihkan mangkuk sisa bubur, tapi ia tahu kalau Jihoon masih berdiri tepat di belakangnya sembari melipat tangan di dada.
"Kenapa lagi dia?" tanya Jihoon ambigu, namun Jira sangat memahami siapa dan kemana arah pembicaraan Jihoon setelah ini.
"Nggak papa. Mama cuma bantuin Adek tidur aja, kasian tadi sampai sesak napas." Jira menjawabnya dengan tenang dan meyakinkan.
"Bocah selemah itu, Mama masih yakin kalau dia anak Mama juga?"
Gerakan tangan Jira terhenti mendengar kalimat lumayan kurang ajar yang terlontar dari bibir Jihoon. Kepalanya menoleh untuk menatap manik mata Jihoon penuh arti. "Kamu meragukan perasaan Mama?" Jira balik bertanya.
Jihoon menggeleng. "Enggak, tapi selama Mama nikah sama Papa, ada nggak dia perlakuin Mama selayaknya Mama kandung? Ada dia manggil Mama sesuai sama apa yang Mama mau?" helaan napas menjeda kalimat Jihoon. "Yang aku tau dunianya dia itu masih berpusat ke ibunya yang udah meninggal. Bukan Mama." sambungnya lagi.
Kerongkongan Jira tercekat dengan tangan basah mengepal guna menampik semua rasa yang tiba-tiba saja muncul ke permukaan. Mencoba mengusir ragu yang entah kenapa semakin lama semakin hadir dan mengusik ketenangannya. Jira menggeleng pelan, meyakinkan dirinya untuk tetap percaya pada apa yang memang harus ia percaya. Menutup telinga dari banyaknya suara yang mencoba menggoyahkan dan membuatnya merasa salah arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta [TERBIT]
FanfictionDia si prioritas 3 kakak kandung dan 3 kakak sepupu. Dia yang selalu jadi pusat kebahagiaan dan kasih sayang keluarga besar. Dia yang sejak kecil sangat dijauhkan dari hal-hal yang bisa memicu timbulnya rasa sakit pada tubuh dan hatinya. Terlalu sem...