DVM-03

322 11 0
                                    

Mengingat besok akan memasuki ujian semester, Zya, Bella serta Selyn janjian berkumpul di perpustakaan umum untuk belajar bersama. Bella dan Selyn sibuk sejak awal membolak-balikkan halaman buku, berpikir keras untuk mencari jawaban soal yang mereka bahas. Lain halnya dengan Zya yang sibuk berkutat dengan ponsel genggamnya. Kalau tidak scroll medsos maka dia akan bermain game.

"Lo nggak mau baca buku, Zy?" tanya Selyn mengalihkan pandangannya. Konsentrasinya jadi terganggu karena Zya yang sibuk sendiri dengan dunianya. Dia memang tidak terganggu oleh kelakuan Zya. Namun, sebagai teman dia tentu tidak akan membiarkan Zya bermalas-malasan.

"Enggak," jawab gadis itu tanpa sedikit pun memandang Selyn.

"Kenapa?" Bella ikut bertanya.

"Gue cari nilai terendah."

"Elah Zy, demi apa sih? Supaya nggak dilamar pak Rey lo bela-belain nilai lo anjlok?" Bella sedikit memekik, masa bodo orang-orang akan mendengarnya. Pertanyaan Zya ini tidak bisa didiamkan saja.

"Sama aja, Bel. Belajar nggak belajar nilai gue tetep segitu." Zya tetap santai, temennya yang khawatir. Mereka takut kalau sampai Zya tidak lulus dia akan dimarahi ayahnya habis-habisan. Namun, siapa sangka reaksi Zya biasa saja.

"Seenggaknya lo ada usaha buat cari nilai sempurna, Zy," ucap Selyn meyakinkan.

Zya menghela nafas pelan, kemudian menurunkan ponselnya sejenak untuk menatap kedua temannya itu serius. Apapun yang akan dikatakan kedua temannya itu tidak akan masuk kebenak Zya.

"Udah deh, kalian belajar aja yang rajin. Anggap aja gue nggak ada," katanya kemudian kembali sibuk dengan ponsel.

Selyn dan Bella mendesah berat. Butuh kesabaran extra jika berteman dengan Zya. Gadis itu memang sangat keras kepala.

"Awas ya kalau sampai lo nggak lulus, kita viralin se Indonesia."



ღ﹌﹌﹌ღ



Reyden Azkano Xander, dosen termuda berusia 25 tahun di Universitas Zirvanest. Dia tampan, mapan, dan menjadi idola para kaum hawa di kampus. Badannya tinggi tegap, hobi ngegym dan sangat dewasa. Tak heran jika para kaum hawa bahkan mahasiswinya tergila-gila pada dosen satu ini.

Mengenai statusnya saat ini, dia single. Banyak perempuan yang mendekatinya, tetapi tidak ada yang membuatnya jatuh cinta. Soal pasangan, Rey tidak terlalu memilih, hanya saja yang pernah dekat dengan Rey tak membuat Rey ingin serius dengan perempuan itu. Dia tidak memilih perempuan kaya, pintar, dewasa maupun seksi. Dia hanya butuh perempuan yang bisa mengerti dirinya, dan penurut. Itu yang agak sulit mencarinya bagi Rey. Mungkin hanya butuh waktu yang tepat bagi Rey untuk mencari pasangan hidup.

Perkara dia yang akan melamar Zya, jika gadis itu bisa mengerjakan soal ujian, Rey tidak main-main. Dia serius akan melakukannya tanpa sedikitpun menolak. Bagi Rey, walaupun Zya itu gadis bar-bar, tapi dia gadis yang cukup unik. Setiap yang dia katakan membuat Rey tertantang untuk membuktikannya. Itu mengapa dia tidak menolak. Jika mereka benar akan berjodoh, maka Rey tidak akan menolaknya. Karena dia tahu ini adalah takdir yang sudah ditentukan Tuhan.

"Permisi, Rey..." seorang dosen wanita yang usianya setahun di atas Rey memasuki ruangan laki-laki tersebut.

"Kenapa, Bu?" Rey menoleh saat pintu ruangannya terbuka.

"Kamu udah makan siang? Kalau belum, gimana kalau kita makan siang bareng dengan staff lain?" ajaknya dengan suara lembut.

Namanya Veronika, panggil saja bu Vero. Dosen wanita paling cantik dan modis di kampus. Tidak heran jika mahasiswa sering menggodanya. Dia seorang dosen. Namun, kelakuannya sering membuat sebagian mahasiswi tidak suka. Bu Vero itu orangnya tidak mau kalah apalagi dibanding-bandingkan soal kecantikan. Jika ada mahasiswi yang lebih cantik darinya, maka bu Vero akan menatapnya sinis.

Contohnya seperti Zya. Zya menjadi idola kampus semenjak dia sering perawatan. Tidak sedikit orang mengenalnya. Saat dirinya berpapasan dengan bu Vero, maka dosen yang satu itu akan menatapnya tidak suka. Jika Zya tidak mengerjakan tugas darinya, maka bu Vero akan sangat marah.

"Terimakasih atas tawarannya, bu Vero, tapi saya bawa makanan sendiri." Rey tersenyum tipis. Menolak dengan sopan tawaran tersebut.

Walaupun hidup Rey bergelimang harta, tetapi dia sangat sederhana. Membawa bekal dari rumah untuk menghemat uang pengeluaran. Apalagi yang menyiapkan bekal ibunya, tidak mungkin Rey akan menolak disaat masakan ibunya lebih enak daripada jualan orang lain.

"Oh begitu. Sayang banget, tapi nggak papa deh. Lain kali kita makan siang bareng, ya," ucap bu Vero tersenyum manis. Dia sangat sering mengajak Rey untuk makan diluar dan sesering itu pula Rey menolaknya.

"Saya usahakan," jawab Rey.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi."

"Silahkan." Wanita itu tersenyum lagi sebelum menghilang dari balik pintu. Niatnya dari awal sudah dapat ditebak oleh Rey untuk mencari perhatiannya.

Setelah bu Vero pergi, Rey kembali melanjutkan pekerjaannya yang masih tertinggal. Dirasa perutnya sudah mulai keroncongan, Rey menghentikan pekerjaannya sejenak. Kemudian membuka kotak bekal yang sudah disediakan sang ibu dari rumah. Rey itu sangat suka masakan ibunya, dia lebih baik membawa bekal daripada harus makan di luar. Selain bisa makan di ruangan, dia juga bisa menghemat uang.

Di dalam bekal tersebut sudah disediakan nasi dengan daging, sayur dan tempe goreng sebagai lauknya.

Rey mendesah berat. Sudah dibilang berkali-kali pada ibunya untuk tidak memasukkan tempe ke dalam bekalnya. Namun, tetap saja ibunya memberinya makanan mengandung kedelai itu. Rey tidak akan pernah mau memakannya karena dia tidak pernah suka dari kecil. Hingga dia akhirnya terpaksa membuang tempe itu keluar.

"Bapak?" Rey yang hendak membuang tempe tersebut ke tong sampah menghentikan aktivitasnya sejenak. Menoleh sedikit terkejut saat mendapati Zya berdiri di depan ruangannya.

"Zya?"

"Kenapa di buang?" tanyanya. Sebagai pecinta makanan, dia merasa tidak rela saat makanan apapun itu dibuang ke tong sampah. Zya benar-benar tidak suka melihat orang membuang-buang makanan.

"Saya nggak suka tempe." Rey berwajah datar.

"Ih, kenapa? Enak tahu, malah di buang." Zya protes. Masa bodo siapapun orang yang menbuang makanan, maka dia akan Zya omelin.

"Pokoknya saya nggak suka aja... Kamu mau?" Rey menyodorkan tempe yang sempat dia masukkan ke dalam plastik bening pada Zya.

Zya menatap bergantian antara Rey dan tempe itu. "Emang boleh?"

"Daripada saya buang?"

"Jangan! Mubazir tahu makanan di buang-buang. Kasih saya aja kalau gitu." Mendengar ucapan Rey yang akan membuangnya, Zya dengan segera merebut plastik berisi tempe itu dari tangan sang dosen.

Masih dalam keadaan berdiri, dia mengambil satu potong tempe itu untuk mencobanya.

"Hmm... seenak ini! Bapak beli dimana?" tanya gadis itu menikmati tempenya dengan lahap.

"Mama saya yang masak." Rey memasukkan satu tangannya ke dalam saku, tersenyum gemas melihat kelakuan Zya. Cukup senang Zya menyukai masakan ibunya.

"Wah, ibunya Bapak pinter masak. Tempe seenak ini malah Bapak buang. Padahal banyak proteinnya tau," ucap Zya sambil mengunyah makanannya.

"Dari kecil saya memang nggak bisa makan makanan yang mengandung kedelai. Rasanya nggak enak dilidah saya. Rasanya hambar dan aneh."

"Mulut-mulut orang kaya ya begini." Zya kembali mencoba satu potong tempe sambil ngomong asal ceplos.

"Saya bukannya mau merendahkan, dan nggak semua orang kaya nggak suka tempe. Mungkin hanya saya," ucap Rey meluruskan.

Zya tersenyum kiku. Lagi dan lagi dia salah bicara. "Iya sih, maaf, Pak."

"Habisin aja kalau mau."

"Beneran?" Rey mengangguk yakin.

"Makasih Pak Rey, tempenya enak."

"Sama-sama."








❤️❤️❤️

Dosen vs MahasiswiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang