DVM-34

276 4 0
                                    

Zya tiba di rumah sakit dengan hati yang berdebar. Saking terburu-burunya, wanita itu tidak sempat untuk mandi. Zya bersama kedua orang tuanya masuk ke dalam ruang rawat inap mama Nita, sayangnya wanita itu sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Rasanya sakit melihat orang yang disayangi terbujur kaku di depan matanya. Apalagi Rey yang menyaksikan kepergian orang tuanya sendiri disini.

Ngomong-ngomong soal Rey, Zya tidak melihat laki-laki itu ada di ruang inap ini. Kemana dia?

Zya memutuskan untuk keluar, mencari keberadaan Rey yang tidak dia temukan sejak tadi. Hingga beberapa saat kemudian, Zya menemukan Rey yang sedang termenung. Ketika Zya melihat Rey dari kejauhan, ia bisa melihat bahwa wajahnya dipenuhi kesedihan dan kehampaan. Rey duduk sendirian di salah satu bangku di luar ruangan, terlihat seperti memendam beban yang berat.

Dengan hati yang penuh kekhawatiran, Zya mendekati Rey dengan langkah perlahan. Namun, saat Rey menyadari kehadiran Zya, ekspresi wajahnya berubah menjadi tidak senang. Zya merasa hatinya teriris oleh tatapan dingin itu, dan ia merasa bersalah karena mungkin telah mengganggu momen pribadi Rey.

Namun, Zya tidak ingin meninggalkan Rey dalam kesendirian. Ia mengambil langkah berani untuk duduk di samping Rey, meskipun suasana terasa tegang. Zya mencoba mengungkapkan kepeduliannya dengan lembut, "Pak Rey..."

Rey menatap Zya dengan tatapan tajam ketika Zya menyentuh pundaknya, tetapi di balik tatapannya itu, Zya bisa merasakan kehancuran dan kelelahan yang tersembunyi. Rey akhirnya menghela nafas panjang dan berkata dengan suara yang terdengar rapuh, "Saya pengen sendiri."

Hati Zya mencelos mendengar ucapan Rey. Rasa bersalah yang dirasakan Zya semakin menjadi-jadi. Zya tahu, bahwa saat ini Rey sungguh kecewa terhadap dirinya. Terlebih ketika ia mengabaikan pesan dan panggilan telefon dari Rey.

"Jangan kayak gini, Pak. Saya minta maaf."

"Kamu nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah, saya yang terlalu bodoh."

"Lagi pula permintaan maaf kamu tidak akan mengubah keadaan mama."

Meski sakit hati mendengar ucapan suaminya sendiri, Zya tetap harus bersabar demi menenangkan suasana. Rey masih dalam keadaan berduka, dia pasti sangat terluka akan kepergian orang tuanya.

Zya mati-mati menahan air mata yang sejak tadi menyesak ingin keluar. Dia tidak boleh cengeng seperti prinsip hidup awalnya. Dia harus kuat dalam keadaan apapun.

"Mama bakal siap-siap untuk diantar ke peristirahatan terakhirnya, Bapak juga harus ikut." Setelah mengucapkan hal itu, Zya segera beranjak dari hadapan Rey masih dalam keadaan menahan sesak di dadanya.

ღ﹌﹌﹌ღ

Hari itu juga mama Nita diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya, dihadiri keluarga, tetangga dan para teman, semuanya berkumpul di sebuah pemakaman demi mendoakan orang tua dari Reyden itu.

Tak butuh waktu lama, setelah mama Nita dikuburkan dan didoakan, satu persatu orang-orang itu pergi meninggalkan pemakaman. Hingga tersisalah Rey, Zya dan kedua orang tua Zya.

Rey berjongkok di depan pemakaman sang ibu, dia menggunakan kacamata hitam agar menutupi wajah sembabnya. Dalam keadaan diam, pria itu mengelus lembut batu nisan milik sang ibu.

"Maafin Rey ya, Ma. Rey belum bisa bahagiain Mama," lirih Rey dengan suara bergetar.

Zya ikut berjongkok di depan pemakaman sang mertua. "Zya juga minta maaf, Ma. Maaf Zya nggak dateng dihari terakhir Mama."

Keduanya sama-sama dalam keadaan menyesal.

"Rey, Zya. Sudah ya, kita pulang," ujar Alden.

Malam harinya, beberapa warga dan keluarga kembali berkumpul di kediaman milik Nita. Mereka akan menggelar doa bersama atas kepergian ibu Reyden itu.

Acara berjalan dengan lancar, hingga pukul 9 malam rumah sudah mulai sepi. Hanya tersisa beberapa keluarga dari Nita, Keluarga Zya dan tentunya kedua pasangan itu sendiri.

"Rey, Zya. Bunda harap masalah kalian hari ini selesai. Tolong bicarakan baik-baik," ucap Sani dengan tegas.

"Kalian sudah dewasa, kalian pasti ngerti."

"Bunda sama Ayah pulang duluan ya."

Meski tak ada jawaban dari anak dan menantunya, tapi Sani yakin jika mereka mendengarkan ucapannya. Menghela nafasnya sejenak, wanita itu bersama suaminya pamit dari rumah tersebut untuk segera pulang.

Ketika keadaan rumah sudah mulai sepi, Zya tidak berniat sama sekali untuk meninggalkan Rey sendirian di rumah itu. Meski sebenarnya dia juga ingin memperbaiki hubungan mereka, namun Zya tidak punya nyali besar untuk berbicara duluan. Karena dia punya gengsi sebesar lautan.

Zya menunggu Rey di dalam kamar. Semenjak menikah, ini kali pertama Zya menginjakkan kaki di kamar suaminya. Awalnya Zya sempat kagum, melihat kamar bersih, rapi, wangi. Tidak seperti kamarnya yang terbilang jorok.

Wanita itu duduk di tepi ranjang dalam keadaan cemas. Berharap Rey akan menemuinya di kamar ini.

Dan benar saja, selang sepuluh menit kemudian Rey masuk ke dalam kamarnya. Menghela nafas pelan ketika melihat istrinya duduk sambil memeluk tubuhnya.

Dengan inisiatif sendiri, Rey duduk di samping Zya membuat wanita itu langsung menegakkan kepalanya.

"Kamu udah makan?"

Zya sempat terkejut sekaligus senang mendengar Rey akhirnya bersikap seperti biasa padanya.

"Mas?"

Kali ini Rey yang dibuat terkejut atas panggilan baru dari Zya untuk dirinya. Jujur saja jantung laki-laki itu sudah mulai berdebar tak karuan. Sedangkan Zya mati-matian untuk menurunkan sedikif gengsinya agar suasana hati mereka semakin hangat.

"Saya nanya--"

"Huwaaaa!!" Rey tersentak kaget ketika mendapat serangan tiba-tiba dari Zya. Wanita itu memeluk tubuhnya seerat mungkin hingga air mata yang sejak kemarin tertahan, banjir sudah membasahi pipinya.

"Maafin aku, aku nyesel udah ngambek sama kamu berhari-hari," isak Zya menggebu-gebu.

Rey tersenyum tipis, mengusap punggung Zya demi menenangkannya. "Saya yang harusnya minta maaf, saya terlalu kasar sama kamu, saya tahu waktu itu saya dalam keadaan kacau. Nggak seharusnya saya ngomong begitu sama kamu," jelasnya dengan tulus.

Zya masih saja terisak, air matanya semakin turun deras saat mendengar penyesalan Rey.

"Maafin aku juga karena terlalu egois, aku terlalu mentingin diri sendiri sampai aku lupa punya kamu," sesal Zya.

Rey mengusap kedua pipi Zya dengan lembut. "Udah ah jangan nangis terus, nanti cantiknya ilang."

"Janji ya jangan tinggalin aku."

"Yang kabur dari rumah kan kamu."

"PAK REEYY!!"

Dosen vs MahasiswiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang