DVM-08

326 8 0
                                    

"AKH! Kesel sialan!" Zya memukul-mukul meja yang tidak bersalah. Rambut yang sudah rapi dari rumah, sekarang berantakan lagi karena dia mengacak-acaknya.

Melihat tingkah laku aneh Zya, Bella dan Selyn bertukar pandang. Seharusnya mereka tidak perlu bingung, sebab kalau Zya frustrasi tingkahnya kayak reog.

"Cerita dong, Zy. Gimana hubungan lo sama pak Rey?" tanya Bella ketika Zya mulai meredakan kekesalannya.

"Dia beneran dateng ke rumah!" rengek Zya mencak-mencak di atas kursinya.

Zya tanpa rasa malu menceritakan semua kejadian kemarin pada kedua temannya. Bagaimana Rey datang meminta restu, berbincang-bincang ramah dengan kedua orangtuanya, sampai mereka direstuin.

"Waw! Akhirnya direstuin." Selyn geleng-geleng kepala takjub. Akhirnya sebentar lagi temannya melepas status jomblo seumur hidup.

Benar, diantara ketiganya hanya Zya yang tidak pernah pacaran. Walaupun dia sering dekat dengan laki-laki asing, bahkan meminta temannya mencarikan laki-laki untuk diperkenalkan pada Zya, percayalah laki-laki itu hanya Zya jadikan bahan pelarian saat dirinya bosan. Pernah ditembak, tapi Zya tolak mentah-mentah. Hal itu dia lakukan untuk meluapkan sakit hatinya.

"Huwaaa gue nggak mauuu!" Zya merengek lebih keras lagi. Sebentar lagi penampilannya benar-benar akan kacau. Bella dan Selyn tidak tahu harus berbuat apa. Antara kasihan dan senang. Kasihan karena Zya frustrasi begini. Senang karena temannya akan segera menikah.

"Zya, lo beneran mau nikah sama pak Rey?" beberapa mahasiswa--teman sekelas Zya datang menghampiri meja Zya. Mereka yang sangat tahu bagaimana sikap Zya sama Rey saat di dalam kelas sudah seperti kucing dan anjing. Tanpa diduga mereka akan hidup bersama. Tentu ini menjadi gosip yang sangat besar di kampus.

"Padahal kalian sering cekcok, lho. Eh, tiba-tiba udah mau nikah aja," kata seorang mahasiswi berambut pendek.

"Dijodohin ya, Zy?" tanya gadis lainnya.

"Kagak! Lo nggak liat dia ngelamar gue waktu itu?" Zya menjawab tidak santai. Dalam situasi Zya yang tidak baik-baik saja, mereka malah bertanya. Apalagi nada bicaranya seperti orang meledek.

"Oh ya, bener juga."

"Gimana, Zy rasanya jadi istri dosen?" tanya si cowok berambut tebal.

"Apalagi lakinya pak Rey! Oh My God! Gue iri, sumpah." Perempuan lain ikut menyahut.

Zya menatap tak santai teman-teman sekelasnya, kemudian ia berdecak. "Berisik aja lo semua. Orang gue lagi puyeng juga."

"Kita kan penasaran, Zy."

"Lo mau tahu gimana rasanya? Rasanya kayak lo makan obat dikunyah tanpa air, nggak enak!"


ღ﹌﹌﹌ღ


Zya benar-benar tak nyaman berlama-lama di kampus. Disetiap sudut ada saja orang-orang yang berbisik tentangnya dan Rey. Salahkan Rey soal ini, karena dia berani membuatnya malu. Namun, disisi lain Zya menolah sadar bahwa mulutnya itu yang perlu diplester.

"Hai, calon istrinya pak Rey." Dipenghujung jalan ada saja yang akan menyapa Zya begitu. Zya benar-benar tidak suka. Dia risih. Rasanya ingin menendang orang-orang yang melihatnya.

"Zya!"

Zya menoleh ke belakang, menemukan seorang laki-laki sebayanya yang berusaha menghentikan perjalanannya.

"Vian? Ngapain lo disini?" Namanya Alvian, anak dari fakultas kedokteran. Dia mengenal Zya karena pernah satu SMA dengannya.

Semasa sekolah, tidak ada yang tahu bahwa Zya pernah menyukai Alvian. Dia laki-laki idaman Zya, tinggi, rambutnya rapi, wangi, badannya berotot, dan ramah pada semua orang. Namun, suatu hari Zya pernah mendengar kalau Alvian menyukai gadis lain yang lebih cantik darinya, dan tak lama setelah itu Zya juga dengar kabar mereka jadian. Pernah melihat dengan mata kepala sendiri mereka asyik mesra-mesraan. Hal itu membuat Zya sakit hati, dan berhenti untuk menyukai Alvian. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan pernah menyukai Alvian atau laki-laki manapun lagi.

Zya sudah kecewa, dia hanya bisa mencintai seseorang dalam diam tanpa mau mengutarakan yang sesungguhnya. Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja Zya merasa sakit hati. Bahkan sampai sekarang terbukti Zya tidak pernah pacaran dengan laki-laki manapun. Banyak laki-laki yang mendekati, tetapi ia berusaha menolak.

"Lo mau kemana?" tanya Alvian berbasa-basi.

"Ke kantin," jawab Zya rada cuek. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari laki-laki tersebut agar jantung Zya merasa aman. Walaupun sudah sakit hati, tapi kalau masih dihadapkan berdua dengan Alvian begini Zya masih sering deg-degan.

"Gue boleh ikut? Sekalian ada yang mau gue omongin sama lo."

"Disini aja. Gue mau makan sendiri," balas gadis itu tidak ramah. Bodo amat kalau mereka dilihatin orang ngobrol di tengah jalan.

"Ooh, okey." Alvian mengangguk-angguk mengerti.

"Mau ngomong soal apa?"

"Hmm... gue denger lo bakal nikah sama pak Rey?"

Zya menghela napas berat. "Pertanyaan lo nggak penting."

"Eh..." Zya hendak berlalu dari hadapan Alvian. Namun, lelaki itu berusaha menghentikannya.

"Apa lagi? Kalau cuma bahas hal gituan nggak usah tanya ke gue. Lo tanya seisi kampus mereka juga tahu."

Alvian menghela napas pelan. "Gue rasa emang iya atas pertanyaan gue. Selamat ya. Gue harap lo lebih bahagia..." ucapnya. Namun, Zya tak membalas. Bingung mau bilang makasih atau malah harus kesal.

"Gue suka sama lo, Zy..." Kedua bola mata Zya membola sempurna. Pernyataan yang benar-benar mendadak. Ada apa dengan Alvian hari ini?

"Gue nggak tahu pasti kapan perasaan ini tumbuh, tapi gue bener-bener sesayang itu sama lo."

Zya merotasikan kedua bola matanya. "Tapi gue enggak. Lo nggak usah terang-terangan sama gue karena lo tahu sendiri kan gue bakal nikah?" Walaupun Zya sesungguhnya tidak setuju dengan pernikahan ini, untuk menghindari pernyataan Alvian dia harus menyadarkan laki-laki itu bahwa Zya sudah ada yang punya.

Alvian mengangguk-angguk. "Gue cuma mau ungkapin perasaan gue kok. Gue nggak ada niatan mau ngerebut lo dari pak Rey karena gue sadar gue nggak bisa bikin lo bahagia... gue lega, Zy." Cowok itu tersenyum tulus.

"Thanks udah confess ke gue." Zya tersenyum datar, lantas benar-benar pergi dari hadapan Alvian dengan perasaan yang semakin tidak karuan.


ღ﹌﹌﹌ღ


Zya duduk sendirian di kantin, memakan makanannya sambil menonton film di ponselnya. Dia lakukan itu untuk mengalihkan perasaannya yang campur aduk.

Zya benar-benar fokus dengan filmnya di layar ponsel, sehingga ia tak sadar ada seseorang yang duduk di hadapannya. Merasa terabaikan, orang itu mengambil ponsel Zya dan mematikan film yang sedang diputar. Baru lah dengan begitu Zya dapat melihat siapa pelakunya.

"Kalau mau makan ya makan aja. Matiin HP-nya."

"Pak Rey? Bapak ngapain disini?" Zya melirik sekitarnya. Bisa-bisanya seorang dosen duduk di kantin mahasiswa, semeja pula dengan Zya. Kalau digosipin lagi kan Zya bisa malu. Entah dimana dia harus menaruh wajahnya.

"Memangnya nggak boleh saya disini?" balas Rey dengan santainya makan semeja dengan Zya.

"Bapak mau bikin saya malu lagi?" tanya Zya dengan suara berbisik. Beberapa mahasiswa yang makan di kantin, menatap kearah mereka. Ada yang senyum-senyum melihat interaksi mereka, ada pula yang merasa iri sama Zya.

"Saya nggak ada niatan untuk itu." Rey tetap santai memakan nasi gorengnya.

"Ya, terus kenapa harus disini?"

Rey menatap serius Zya. "Saya cuma mau bilang, nanti pulang sama saya karena mama pengen ketemu sama kamu."

Zya menghela napas frustrasi. "Tapi kenapa Bapak harus ngomong disini? Chat aja kan bisa, Pak."

"Kalau saya ketemu disini ya kenapa harus di chat. Ya kan?" Zya diam membisu. Tiba-tiba selera makannya jadi hilang. Bukannya apa, Zya hanya tidak mau mendengar gosipan orang lagi. Kupingnya udah capek mendengarkan ocehan orang.

Ingin rasanya pergi begitu saja dari hadapan Rey. Namun, dia takut di cap tidak sopan. Sehingga dia mau tak mau harus bertahan disini.











✧༺♥༻✧

Dosen vs MahasiswiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang