DVM-14

303 7 0
                                    

Zya baru saja kembali dari perpustakaan sendirian, membawa setumpuk buku di tangannya. Bukannya dia rajin, ada beberapa buku yang harus dia pinjam sebab Rey memaksanya untuk belajar di rumah. Mau tak mau Zya terpaksa menurut.

Saat tiba di koridor fakultasnya, ia tak sengaja bertemu Vero yang berlawanan arah dengannya. Dosen muda itu tampak berdiri di depan Zya seraya menatapnya dengan mata sedikit menyipit. Zya berusaha mengabaikan, saat ia mengambil jalan sebelah kiri, tiba-tiba Vero juga mengikuti. Zya ke kanan, Vero juga ikutan. Sehingga Vero terlihat jelas sedang menghadang jalan mahasiswinya.

Zya mencoba untuk menghela napas sabar, hari ini ia tak mau berdebat dengan dosen. Namun, sepertinya dosennya sendiri yang mau memancing keributan.

"Ibu mau lewat?" tanyanya menatap Vero tak santai.

"Iya, kenapa?" Vero mengangkat sedikit dagunya ke atas. Seperti orang songong.

"Ibu nggak buta jalan kan? Disana masih lebar tuh jalanan, kenapa harus ngikutin saya?"

Vero tersenyum smirk kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Pede banget kamu. Kamu yang dari tadi ngikutin saya."

Zya ikut menyunggingkan bibir. Menahan kesal melihat kelakuan munafik dosen yang satu ini.

"Emang susah ya ngomong sama wanita yang suka iri." Zya sedikit memelankan suaranya. Namun, masih dapat terdengar jelas oleh kedua telinga Vero.

"Maksud kamu apa ngomong begitu sama saya? Disini saya dosen kamu, yang sopan sama saya. Ingat itu!" Tatapan mata Vero mulai tak santai. Ucapannya tersebut bahkan dapat mengundang tawa Zya.

"Dosen? Nggak ada dosen yang modelannya begini," ucapnya sambil tertawa renyah.

"Dosen kok dandanannya menor, caper lagi." Zya mulai bergumam.

Vero mulai terdiam, bukan karena dia sadar dengan ucapan Zya, melainkan kesal dengan cara bicara Zya yang dianggap tidak sopan. Kedua tangannya sudah mengepal, menatap Zya penuh dendam. Bagaikan monster yang siap menelan mangsanya hidup-hidup.

"Ucapan saya bener kan, Bu? Ibu bukan hanya iri karena saya cantik di kampus ini, tapi Ibu juga iri karena pak Rey yang selama ini Ibu idam-idamkan itu jadi suami saya."

Zya sangat tahu, bahwa Vero diam-diam menyukai suaminya. Bahkan jauh sebelum mereka menikah. Tapi sayang, orang yang dicintainya bukanlah jodohnya. Untuk yang kesekian kalianya Vero harus kalah dari Zya. Sekarang mereka saingan.

"Sok tahu kamu." Vero membantah hal tersebut walau kenyataan berkata benar. Malu jika dia membenarkan hal tersebut.

"Tapi memang kenyataan kan?" Zya tersenyum kemenangan. Membuat Vero kikuk.

"Saya hanya kasihan sama Rey, punya istri modelan bocah tengil kaya kamu." Penampilan Zya dari atas sampai bawah dinilai buruk dimata Vero. Bohong jika dia tidak iri dengan kecantikan dan keberuntungan yang Zya miliki.

"Lebih kasihan lagi kalau pak Rey nikah sama Ibu, pasti tiap hari diporotin terus." Zya tak mau kalah. Ucapannya bahkan lebih pedih dari kata-kata milik Vero.

Zya bisa prediksi itu. Anggap saja Rey adalah suaminya Vero, maka laki-laki itu sekarang sudah bangkrut karena istrinya. Sebab, Vero itu matre, dia itu gila belanja dan suka hidup berfoya-foya. Sudah menjadi rahasia umum di kampus Zirvanest.

Zya sangat kasihan dengan wanita di depannya ini, dia adalah seorang dosen, pintar dan berpendidikan tinggi. Namun, sayang kelakuannya tak seimbang dengan otak pintarnya itu.

"Apa kamu bilang?!" Vero sedikit maju melawan Zya, satu tangannya sudah melayang ke udara. Dia sama sekali tidak terima dengan ucapan tersebut. Sungguh menurunkan imagenya sebagai dosen.

Dosen vs MahasiswiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang