DVM-07

351 9 0
                                    

"Pak!" Zya menahan lengan Rey agar pria itu berhenti melangkah sebelum dia pulang. Keduanya saat ini sudah berada di depan pagar rumah Zya.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, Rey cukup lama bertamu ke rumah Zya. Sebab, ayahnya sangat senang bertemu calon menantu seperti Rey. Udah ganteng, kaya, sholeh, mapan, berpendidikan lagi. Seharusnya Zya bersyukur memiliki seorang calon suami seperti Rey. Ibunya pun juga bahagia Zya dapat menemukan pasangan seperti Rey. Mereka banyak mengobrol tentang keseharian sehingga jadi mengenal satu sama lain.

"Bapak yang bener aja mau nikah sama saya. Saya ini masih kecil, lho." Rey tertawa kecil, tingkah Zya selalu berhasil membuatnya gemas. Hanya gadis itu yang selalu mempermasalahkan hal ini. Dia selalu mencari cara bagaimana agar tidak menikah dengan Reyden. Namun, itu mustahil.

"Muka tua begini dibilang masih kecil?" Rey sengaja mengetuk pelan dahi Zya dengan telunjuknya.

"Jangan bikin saya frustrasi dong, Pak." Gadis itu memanyunkan bibirnya. Mengapa masalah ini semakin rumit baginya.

"Kamu nggak usah mikirin apa-apa. Jalanin aja. Kalau ini sudah takdir dari Tuhan, kamu nggak akan pernah bisa menolak kan?" Rey menatap Zya serius.

"Ini mah lebih kemauan Bapak sendiri."

Rey tersenyum. "Dengerin saya. Maut, jodoh, dan rezeki itu sudah ada yang menentukan. Manusia nggak bisa milih, dia mau hidup sama siapa, dimana, mau bagaimana keadaannya, dan seperti apa jalan hidupnya. Karena takdirnya sudah ditentukan sejak dia lahir..." Rey menggantung ucapannya sejenak. Sedangkan Zya serius menyimak.

"Sama seperti kamu dan saya. Ada jalan tersendiri untuk bertemu jodoh. Seseorang belum bisa dikatakan berjodoh sebelum akad nikah berlangsung... Siapa tahu takdir kita ini hanya ucapan sementara. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok maupun hari-hari kedepannya. Siapa tahu kita memang bukan ditakdirkan bersama. Jadi, nggak ada yang perlu kamu pikirkan dan kamu persulit jalannya. Jalani saja takdir kamu yang sudah tertulis sejak lahir."

Zya tertegun dengan ucapan Rey. Meski hatinya sedikit tenang, tapi hatinya tak bisa berbohong. Zya masih takut. Takut jika mereka benar-benar jodoh apa yang akan terjadi padanya nanti. Zya hanya tidak siap menerima kenyataan. Apalagi menikah dengan seseorang yang tidak ia cintai, dosennya pula. Akan ada rasa-rasa canggung yang Zya hadapi nantinya.

"Kalau begitu saya pergi dulu, calon istri." Rey tersenyum menggoda. Menepuk beberapa kali pundak Zya, kemudian melengos pergi meninggalkan Zya yang sibuk bergelut dengan pikirannya.

"Zya!" Teriakan Sani mampu membuat Zya sadar dari lamunannya.

Zya memutar badan menghadap kearah rumahnya, dimana menemukan sang ibu berdiri di depan pintu. "Iya, Bun?"

"Kamu ngapain berdiri disana sendirian? Ayo masuk."

"Iya, Bun ini mau masuk." Zya berjalan sedikit berlari untuk sampai ke dalam rumah, disambut sang ibu dengan rangkulan di bahu Zya.

Gadis itu terlihat ingin mengatakan sesuatu. Namun, dia tampak menahan diri. Untungnya Sani sadar akan hal itu. Dia paling tahu soal gerak-gerik sang anak. Kali ini ekspresi Zya tampak kebingungan.

"Kamu kenapa, Zy?" tanya Sani pelan.

Zya melirik sang ibu sejenak. "Hmm... nggak papa." Gadis itu berusaha tersenyum.

Sebagai Ibu, Sani sangat mengerti atas apa yang dirasakan Zya saat ini. Ia tidak akan mungkin membiarkannya larut sendiri dalam pikirannya.

"Kalau ada yang kamu tanyakan, atau mau kamu ceritain sama Bunda, bilang aja ya, Nak. Jangan dipendem sendiri." Sani merapikan rambut anaknya. Kedua perempuan itu lantas duduk bersebelahan di sofa ruang tengah.

"Nggak ada kok, Bun." Walaupun sebenarnya ada, Zya hanya tidak ingin menambah beban sang ibu.

"Apa kamu takut buat pisah sama ayah bunda? Atau kamu masih belum siap untuk menghadapi pernikahan? Satu lagi, apa kamu masih ragu sama pacar kamu sendiri?" tebak Sani.

Zya melirik serius ibunya. Tepatnya sih Zya tidak mau menikah dengan dosennya itu. Dan apa tadi? Pacarnya? Ingin rasanya Zya bilang 'dia bukan pacar aku, tapi cuma om-om pedo tukang paksa.' Namun, rasanya tidak mungkin Zya ungkap seperti itu. Toh, usia mereka tidak berjarak terlalu jauh.

Lantas Zya hanya mengangguk membenarkan terkaan sang ibunda.

Sani tersenyum lagi, ia menyelipkan anak rambut Zya ke belakang telinganya, tak lupa membelainya lembut.

"Zya, kamu itu udah dewasa, udah mateng kok buat nikah. Pernikahan itu bukanlah sebuah aib apalagi hal yang menakutkan. Pernikahan itu ibadah. Setiap manusia pasti akan merasakannya karena kita diciptakan berpasang-pasangan... Soal pisah sama orang tua? Tentu itu akan terjadi. Kamu tahu kan, people come and go, suatu saat nanti kita nggak akan pernah bareng-bareng lagi di dunia ini. Ada saatnya kami para orang tua akan meninggalkan anaknya ataupun sebaliknya," ucap Sani panjang lebar. Zya membisu lagi dengan ceramah yang diberikan Rey dan ibunya.

"Menurut Bunda, kamu cocok banget sama Rey. Apa yang kamu ragukan dari dia? Bukannya kalian udah pacaran 5 tahun? Mana dia dosen kamu di kampus. Harusnya kalian sudah saling mengenal."

Itu bohong, mana mungkin Zya akan pacaran dengan dosen menyebalkan itu. Setiap hari kalau ketemu kerjaannya cekcok terus. Bagaimana mau hidup serumah kalau keadaan mereka saja kacau.

Rey itu memang baik, tapi dimata Zya, Reyden sama saja seperti soang putih. Lewat sedikit, disenggol.

"Zya paham kok, Bun. Tapi Bunda sama ayah bakal yakin dan percaya sama Rey?" tanya Zya sungguh-sungguh sambil menggenggam kedua tangan ibunya.

"Bunda percaya banget kalau Rey yang terbaik buat kamu."


ღ﹌﹌﹌ღ


drrt...drrtt

Ponsel milik Zya berdering cukup keras. Satu panggilan baru saja Zya dapatkan dari temannya, Bella. Tapi sayangnya sang pemilik belum bangun dari tidur pulasnya.

Karena suara itu cukup gaduh, tidur Zya jadi terganggu. Mau tak mau gadis itu harus mengangkat telefon daripada berisik di kamarnya. Matanya yang lengket masih tak mau terbuka, dia akhirnya meraba-raba kasurnya. Seingatnya dia menaruh ponselnya itu di samping bantalnya.

"Hmm?" gumam Zya setelah mengintip sejenak sang penelepon. Kemudian menutup matanya kembali.

"Zya? Lo nggak masuk hari ini?" tanya Bella yang posisinya sudah berada di kampus. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi, Bella kehilangan satu temannya. Makanya ia harus menelefon untuk mengetahui keberadaan Zya.

"Enggak."

"Lo kenapa, Zy? Suara lo agak aneh." Bella sedikit kebingungan. Yang dia dengar bukan hanya suara serak Zya saat bangun tidur, melainkan suaranya itu agak terdengar bindeng.

"Demam." Zya menjawab tanpa semangat. Sejak malam itu, badan Zya mulai tak enak. Dia merasa pusing dan kedinginan. Tiba-tiba pagi ini badannya panas.

"Ya ampun, bisa sakit juga lo ternyata." Bella malah tertawa di sebrang telepon. Biasanya Zya ini jarang sakit. Terkadang dia dikenal sebagai gadis kuat tahan banting. Sekarang dia jatuh sakit hanya karena masalah sepele.

"Lo pikir gue robot nggak bisa sakit." Zya mendengus malas.

"Becanda, Zy. GWS ya cantik. Masa mau nikah sama pak Rey langsung jatuh sakit."

"Diem. Nggak usah dibahas."













✧༺♥༻✧

sorry for typo

Dosen vs MahasiswiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang