Zya dan Rey baru saja pulang dari kampus. Mereka duduk di dalam mobil dengan suasana yang begitu hening. Setelah kejadian memalukan di kampus barusan membuat Zya kehilangan nafus makannya. Bahkan dia memilih pergi dari ruangan Rey daripada makan bersamanya. Sumpah, jantung Zya saat itu rasanya mau copot.
"Beneran nggak mau makan?" Rey yang sibuk menyetir sesekali melirik pada Zya tengah sibuk tenggelam dalam pikirannya.
"Udah kenyang," balas Zya cuek.
Krukkkruk
Rey diam-diam tertawa, lucu sekali ketika Zya dalam mode ngambek ditambah malu. Egonya mengalahkan segalanya.
Sedangkan Zya mati-matian menahan diri. Dalam keadaan seperti ini, perutnya tidak bisa untuk diajak bekerja sama. Sungguh memalukan.
"Beneran nggak mau? Nanti nyesel loh," ucap Rey masih membujuk Zya.
Zya menghela nafas berat. Jujur dari lubuk hati yang paling dalam, dia memang butuh asupan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya, bahkan tenaganya juga sudah mulai lemah tak berdaya.
"Lagian, Bapak juga sih!" Zya melirik tajam pada Rey.
"Saya lagi."
"Ya iyalah, gara-gara Bapak saya jadi nggak nafsu makan!"
Meski masalahnya memang simple, tapi bagi Zya ini masalah besar untuk hatinya yang mulai porak poranda. Bahkan dia nggak bisa lupa sama kejadian beberapa waktu lalu.
"Iya deh, maaf. Kita cari makan disana dulu sebelum pulang ya." Zya langsung mengangguk-angguk cepat, untung sekali Rey ini peka sama perasaan Zya. Membuat Rey sekali lagi tersenyum melihat kelakuan istrinya.
Rey memberhentikan mobilnya di sebuah rumah makan sederhana. Zya sama sekali tidak keberatan, sebab ketika lapar Zya tidak akan memilih-milih untuk makan apapun.
Selang beberapa menit kemudian, keduanya sudah menikmati makanan masing-masing lengkap dengan sebuah jus. Disini Zya yang paling lahap, sampai Rey tertawa melihatnya. Katanya saja yang tidak nafsu makan, tapi satu piring bisa habis itu nasi.
Lagi enak-enaknya makan handphone Zya tiba-tiba berbunyi. Tertera nama bunda disana, sehingga ia tak bisa mengabaikan panggilan tersebut.
"Hallo, kenapa, Bun?" tanya Zya langsung.
"Rey mana?" Tanya Sani tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.
"Ada ini lagi makan."
"Zy, cepet sekarang ke rumah sakit Mama Nita masuk rumah sakit."
"Apa?" Zya hampir saja tersedak jus yang baru saja diminumnya. Kaget banget mendengar berita mendadak ini dari ibunya.
"Cepet ya, Bunda tunggu."
Tak lama setelah itu panggilan dimatikan sepihak oleh Sani. Sedangkan Zya langsung diam mematung sambil melirik kearah suaminya.
"Kenapa Zya?" Rey mengerutkan keningnya, sadar jika Zya terlihat tidak baik-baik saja.
"Mama..."
"Mama? Mama kenapa?" tanya Rey tidak sabaran.
"Mama masuk rumah sakit."
Rey langsung membeku kaget, detak jantungnya berdegup kencang hingga pikirannya mulai tak karuan, bahkan tubuhnya langsung melemah. Tanpa berpikir panjang, laki-laki itu segera meninggalkan makanannya dan menuju rumah sakit bersama Zya.
Selang beberapa menit di perjalanan, Rey dan Zya tiba di rumah sakit tempat sang mama dirawat. Disana mereka sudah melihat kedua orang tua Zya menemani di dalam ruangan. Terlihat wanita paruh baya satu anak itu terbaring lemah di brankar rumah sakit.
"Mama?!" Rey segera menghampiri sang ibu, pria itu terlihat tidak mampu menahan air matanya.
"Ma, bangun, Ma."
"Bunda, mama kenapa?" tanya Zya segera menghampiri Sani.
Sani terlebih dahulu menghela nafas demi menenangkan dirinya sendiri. "Kata dokter, mama Nita didiagnosis serangan jantung."
Rey yang mendengar hal itu segera mendongak menatap kearah Sani. Dia syok sekaligus merasa tidak percaya. "Mama nggak pernah cerita sebelumnya."
Sani hanya diam, hanya itu yang bisa dia katakan. Jujur, dia juga merasa sedih sebab besannya kini dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Ma, bangun. Ini Rey, Ma."
Zya merasa haru melihat perubahan ini. Ia menyadari bahwa di balik sikap Rey yang keras, ada seseorang yang juga memiliki perasaan dan kelemahan. Melihat Rey yang sedang khawatir dan penuh perhatian terhadap ibunya membuat hati Zya tersentuh. Ia menyadari bahwa meskipun mereka sering bertengkar, tetapi Rey juga memiliki sisi lembut dan perhatian yang jarang terlihat.
beberapa jam kemudian, mama Nita akhirnya membuka mata. Yang dia lihat pertama kali adalah anak laki-lakinya yang sedang tertidur di sampingnya, lalu melihat Zya tengah duduk melamun di atas sofa. Sedangkan kedua orang tua Zya pamit pulang sebentar karena suatu pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
"Rey..." Nita mengusap lembut rambut sang anak membuat Rey langsung terbangun dengan perasaan sedikit terkejut.
"Mama?"
Zya langsung menghentikan lamunannya dan bergegas menghampiri mertuanya. Melihat kehadiran Zya, Nita tampak tersenyum lembut pada sang menantu.
"Maafin Mama Rey, bukannya Mama nggak mau cerita sama kamu, tapi Mama nggak mau sampai ngerepotin kamu. Apalagi kamu punya Zya sekarang," ucap Nita dengan suara pelan.
Rey menggeleng, tidak setuju dengan ucapan sang ibu. Menurutnya tidak ada yang merepotkan baginya menyangkut soal keluarga. Mereka jauh lebih penting daripada kesibukan Rey sendiri.
"Mama lihat kamu terlalu banyak pikiran, Mama nggak mau sampai nambah beban kamu, Rey."
Rey menggenggam lembut tangan sang ibu. "Mama salah, Rey masih anak Mama. Rey pasti bakal selalu ada buat Mama. Mama seharusnya cerita sama Rey. Kalau Rey nggak tahu, Rey bakal nyesel karena nggak sempat merhatiin Mama. Rey ngerasa jadi anak yang nggak berguna buat Mama."
"Maaf ya, Nak." Nita terlihat menitikkan air mata mendengar setiap ucapan sang anak. Sedangkan Zya sudah lebih dulu menangis menyaksikan bagaimana suaminya begitu sayang pada sang ibu.
"Sampai kapan pun kamu akan selalu jadi anak terbaik yang Mama punya. Jangan merasa bersalah ya, Rey."
Rey terdiam sambil terisak pelan. Jika sudah menyangkut orang tua, dia benar-benar tidak bisa menahan diri menjadi orang paling tegar di dunia ini.
"Rey, mungkin waktu mama di dunia udah nggak lama. Mama harap kalian berdua akur terus ya. Kamu harus bisa jagain Zya, Rey." Nita menggengam sebelah tangan Rey dan Zya bersamaan.
"Mama sangat berharap sebelum Mama pergi, Mama bisa lihat cucu pertama Mama."
✧༺♥༻✧
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen vs Mahasiswi
FantasyMulutmu harimaumu mungkin ini julukan yang tepat untuk Zya atas mulutnya yang suka asal ceplos. Karena ucapannya yang sok berani, Zya harus terjebak kisah cinta tak biasa dengan dosennya sendiri. Reyden, dosen idola para mahasiswi di kampus. Selalu...