DVM-33

269 3 0
                                    

Sebagai orang yang paling tahu soal perasaan orang lain, Selyn menyadari jika temannya--Zya tampak berbeda hari ini. Gadis itu sejak tadi murung di dalam kelas bahkan tidak mendengarkan dosen menerangkan pelajaran.

"Lo kenapa, Zy?" Selyn menyenggol lengan Zya pelan, berbisik di depan telinganya. Selyn tidak tahan untuk tidak bertanya. Sudah tiga hari ia terlihat aneh. Tidak seperti biasa yang akan selalu meracau tidak jelas.

Selyn berhasil membuyarkan lamunan Zya hingga gadis itu tersentak.  "Hah? Emang ada yang salah dari gue?" tanyanya balik.

Menurut Zya ini adalah masalah pribadinya dengan Rey. Ia tidak perlu mengungkit masalah ini pada siapapun termasuk Selyn maupun Bella. Namun, Zya tidak mampu untuk menyembunyikan raut wajahnya hingga Selyn memergokinya merenung.

"Muka lo kentara banget kayak orang galau," ungkap Selyn. Meski Selyn tahu Zya tidak baik-baik saja, ia tetap tidak tahu masalah apa yang baru saja menimpa temannya.

"Lo ada masalah ya sama pak Rey?" tebak gadis itu asal. Jika Selyn pikir lagi, sudah pasti Zya ada masalah rumah tangga mengingat ia sudah menikah.

"Enggak ada." Zya lantas menggeleng cepat, mengelak jika tebakan Selyn itu benar.

"Soalnya tiap kelas pak Rey, lo beralasan izin terus ke UKS."

Beberapa hari ini, Zya memang selalu menghindar dari hadapan Rey. Bahkan Zya tidak pulang ke rumah Rey. Selama Zya di rumah orang tuanya, dia tidak pernah keluar kamar ketika Rey datang bertamu. Kedua orang tuanya juga sudah tahu jika hubungan keduanya sedang merenggang. Rey tentu tidak akan memberitahu mamanya tentang masalah ini mengingat kesehatan sang mama semakin memburuk.

"Ya, emang badan gue lagi nggak enak aja," alibi Zya. Bagaimana pun caranya ia tidak ingin teman-temannya sampai terlibat.

"Lo yakin, Zy?" Selyn menatap serius kearah Zya, sesekali melirik depan agar dosen tidak mengetahui jika mereka asyik mengobrol.

"Iya, Nyet. Nggak percayaan amat lo sama gue." Tak lama kemudian raut wajah Zya berubah, biasa saja seperti tidak ada apa-apa pada dirinya.

"Kalau ada apa-apa cerita ke kita ya. Jangan dipendem sendiri."

"Biasanya juga gue bakal cerita ke kalian." Tapi kali ini masalahnya sungguh rumit. Zya yakin Selyn maupun Bella tidak akan bisa berbuat apapun.

ღ﹌﹌﹌ღ

"Rey, Zya kemana? Kok nggak sama kamu?"

Selesai jadwal mengajar, Rey buru-buru langsung ke rumah sakit untuk menemani sang ibu disana. Seharusnya selama Nita di rumah sakit, Rey sudah berencana mengambil cuti, hanya saja tidak diizinkan sang ibu. Menurutnya, pekerjaan tetaplah pekerjaan, Rey punya tanggung jawab atas tugasnya.

Pria itu lagi-lagi tidak datang bersama istrinya karena Zya kali benar-benar marah pada dirinya. Salah Rey juga sih, dia sadar saat itu dirinya dalam keadaan tidak baik-baik saja hingga memaksa Zya untuk melakukan hubungan suami istri dengannya.

"Tadi Zya mau kesini. Tapi Rey larang dulu soalnya dia harus ngurus skripsi," alibi laki-laki itu. Rey tidak ingin ibunya tahu masalah mereka hingga berakhir tragis untuk kesehatannya.

"Mama kangen."

Rey terlihat tidak tega. Namun, disisi lain dia juga tidak ingin menganggu istrinya itu. Sudah beberapa kali Rey ke rumah mertuanya demi membujuk Zya, bahkan dibantu oleh Sani dan Alden, hasilnya malah nihil.

"Mama udah makan? Kalau belum, Rey suapin ya?" Rey mengalihkan pembicaraan.

Nita menggeleng lemah. "Mama nggak mau makan."

"Ma, Mama harus makan biar tetep sehat," bujuk Rey.

"Mama nggak mau, Rey. Mama mau ketemu Zya untuk terakhir kali."

Rey menghela nafas gusar. Dia terlihat frustrasi, sang mama masih mengungkit soal istrinya lagi, bahkan omongannya mulai ngelantur. Entah apa yang harus Rey lakukan.

"Kenapa sih? Kalian nggak kenapa-napa kan?" tanga Nita, dia terlihat curiga ketika Rey tampak mengusap wajahnya dengan kasar.

"Hmm? Eee...nggak papa kok, Ma. Nanti Rey coba telfon Zya dulu," balas cowok itu seadanya. Sedangkan Nita langsung mengangguk-angguk lemah.

Rey keluar sejenak dari ruang rawat sang ibu, dia mencoba menghubungi Zya meski tampak ragu. Kemarin, Rey sudah pernah mencona menelfon Zya, cewek itu malah tidak mengangkat telfonnya.

"Saya mohon angkat, sekali aja." Rey harap-harap cemas seraya menggigit bibirnya sendiri.

Satu kali, dua kali dia mencoba menelfon Zya, yang menjawab hanya panggilan operator. Tentu saja membuat Rey kesal saat itu juga. Entah alasan apa lagi yang harus dia berikan pada Nita kali ini.

"Ketemu Zya nya besok aja ya, Ma. Mungy Zya udah tidur," kata Rey sambil berjalan kembali ke brankar sang mama.

Namun, ketika dia sudah berada di samping brankar, dia melihat layar monitor jantung sudah tidak bergerak. Hal itu langsung membuat Rey panik sejadi-jadinya.

"Ma?"

"Mama denger Rey kan?"

"Mama cuma tidur kan?"

"Mama!"

Beberapa kali Rey mencoba membangunkan sang ibu, wanita baya itu terlihat tidak bereaksi sedikit pun.

Tak lama kemudian seorang dokter datang untuk memeriksa setelah Rey memanggil. Seluruh tubuh pria itu menggigil ketakutan. Dia benar-benar takut jika apa yang dibayangkannya itu terjadi.

"Innalillahi wa innalillahi rojiun."

ღ﹌﹌﹌ღ

"Zya!"

"Zya, buka pintunya cepetan!" Sani tampak menggedor-gedor pintu kamar sang anak tak santai. Mau dibuka sendiri, pintunya malah dikunci dari dalam.

"Hmm...kenapa sih, Bun?" Di dalam kamarnya, wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya.

"Buka pintunya, Zya!"

Mendengar bundanya menggedor tidak santai, membuat Zya mau tak mau harus segera beranjak dari atas kasurnya.

"Apa sih Bun?" Zya terlihat kesal, bahkan nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

"Mama Nita meninggal!"

"Hah?!"











✧༺♥༻✧

Dosen vs MahasiswiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang