Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Banyak seandainya yang berkeliaran di kepalanya, saat pertemuan adalah awal dari rasa sakit yang ada, tidak akan ada yang berubah, saat semua hal sudah terlanjur rusak.
Becky terdiam sejenak, saat kamar ini sudah kosong dari semua barang-barang Freen, jauh lebih lega dari sebelumnya, namun seketika membuatnya sesak, Ia menyesali permintaannya.
Becky berjalan ke arah yang selama ini Freen larang, tidak ada hal special untuk saat ini, karena spot itu tidak lagi menjadi tempat favorit wanitanya.
Ia mematut dirinya di cermin, melihat betapa mengenaskannya tubuh kurus itu, bahkan satu-satunya orang yang harusnya Ia kasihani adalah dirinya sendiri.
Becky mengambil satu-satunya barang yang berputar ribuan kali di kepalanya, menggoreskannya perlahan pada pergelangan tangannya, sensasi perih itu mulai membuyarkan pikirannya, Ia terfokus dengan segala sensasi rasa sakit yang Ia rasakan.
3 goresan itu membuatnya tertawa setelahnya, menekan keras luka yang ada, membuatnya kecanduan untuk melakukannya lagi.
Menggigiti kuku tangan kanannya, kulit yang terbuka, rasa perih yang terasa membuatnya puas.
Jempol kirinya juga sibuk menggores telunjuk kirinya dengan keras, membuatnya terluka, namun anehnya rasa sakit itu tidak sedikitpun membuatnya terganggu.
Hingga dering gawainya kembali membawanya kepada kewarasan, Becky terkejut dengan darah yang mulai membasahi bajunya.
Di panggilan itu tertera nama sang Ayah yang Ia beri emot love putih, karena hanya cinta lelaki itulah yang paling tulus Ia rasakan.
"Hallo Ayah...
Suara lembut itu menyapa telinganya, begitu tenang, saat segala macam rasa risau itu diutarakan, Ayahnya sangat peka, batin Mereka juga terkait erat, Becky yakin sang Ayah pasti merasakan kegundahan yang dirinya juga rasakan.
"Apa kabar Adek?" Suara yang Ia sukai, yang terasa begitu hangat, mampu menenangkan.
"Baik, Ayah apa kabar" mati-matian berusaha menyembunyikan isak tangisnya, jika Ia bisa berteriak saat ini, Ia akan lakukan, namun menjaga reputasi Freen adalah kewajibannya sebagai istri.
"Baik, gimana nak? bahagia dengan pernikahannya? Adek kapan ke Bandung?"
Ia tersenyum miris, karena kenyataannya Ia harus berbohong ribuan kali untuk menyelamatkan pernikahan Mereka, meletakan Freen menjadi tahta tertinggi di hidupnya, sampai Ia lupa ternyata Ia jauh berada di bawah untuk menggapai semuanya.
"Adek bahagia Yah, Adek udah ketemu Kakak kemarin, Dia juga baik, kapan-kapan ya, nanti Adek ke sana kalau Kak Freen kasih ijin. "
"Adek kalau ketemu Kakak yang ikhlas ya, maksud Ayah, Adek sabar aja kalau Kakak ngomong yang mungkin nyakitin Adek, "
"Iya, Ayah tenang aja. "
"Dek, kalau nanti rasa sakitnya gak lagi bisa Adek tanggung sendiri, pulang ya Nak, "