Jangan lupa follow....
Happy Reading
*
*
*
*
*
*
*Sinta lebih memilih bungkam. Dia tak jadi menghujam tubuh Mala yg ringkih itu dengan penyapu.
"Kenapa Bu.?" baru kali itu Mala mengutarakan isi hatinya.
Mala hanya bisa menatap ibunya dari kejauhan ketika Sinta memutuskan untuk masuk kedalam kamar.
"Aw.. " lututnya semakin nyeri. Mala masuk kedalam kamar.
Tak ada satupun foto keluarga yg terpajang dirumah itu. Sementara Mala hanya punya Hp jadul yg cuma bisa mengirim pesan dan menelpon. Itu yg menyebabkan dirinya bertanya-tanya.
"Mala kamu harus tenang." meski di kerumuni oleh pikiran negatif, Mala mencoba melawannya dengan berucap hal yg positif.
Kekuatan untuk bertahan dengan berbicara hal positif itu hasil dari pergaulan dengan buku motivasi.
Mala lebih memilih berteman dengan buku-buku dibanding mendengar ocehan manusia toxic macam Aurell."Duh, apa gue keterlaluan sama ibu ya tadi.?" Mala jadi tak sampai hati, padahal ibunya yg bersalah.
Mala akhirnya berganti baju kaos putih dan celana pendek. Ia menguncir rambut lalu pergi ke dapur.
"Apa ibu gak masak lagi.?" tak ada makanan yg ditinggalkan Sinta diatas meja samping kompor.
Mala duduk bersila di tikar dan membuka tudung saji. Dia hanya mengambil nasi dan sambal.
"Mala kamu beli telur saja untuk makan. Hari ini kamu tidak perlu ikut ibu ketempat nyonya."
Sinta meletakan uang 50 ribu diatas meja kompor. Dia pergi dengan mata yg bengkak.
Peliknya sikap baik ibunya itu memang muncul dalam keadaan tertentu.Mala jadi tak memikirkan soal perutnya yg keroncongan. "Ibu kenapa.?" tak ada lagi rentetan omelan Sinta pada Mala.
Memang setiap kali Mala menyinggung soal ayahnya, sang ibu jadi murung. Tapi lebih banyak histeris. Makanya sangat jarang Mala mengungkit soal ayah biologisnya.
"Karena lo Aurell, gue jadi beranggapan apa yg lo bilang itu benar.! Gue benci sama lo.!" Mala mengepalkan tangan.
Selama ini belum pernah Mala merasa hatinya dipenuhi dengan timpukan batu kebencian karena seseorang.
Aurell adalah orang pertama yg ia benci.
Meski ibunya sering berbuat jahat, tapi Mala masih bisa toleransi. Tetapi untuk Aurell, tidak sama sekali."Gue harus balas dia.!" ia mendesah. "Tapi gimana.?" bahkan untuk menatap serpihan cermin dikamarnya saja Mala tak sanggup.
Mala mengambil uang itu untuk membeli telur. Sebelum itu dia masuk ke dalam kamar mandi yg keramiknya penuh lumut.
"Kenapa sih muka gue harus tumbuh jerawat-jerawat ini.?"
Mala memperhatikan keranjang berisi peralatan mandi."Cantik butuh modal, dan gue gak punya itu." desah Mala lagi.
Mala mengambil sabun batang yg biasa dipakai untuk badan dan digunakan untuk mencuci wajahnya. Bahkan Mala tak mampu membeli pencuci wajah khusus.
Sesekali Mala melirik kearah pencuci wajah ibunya."Apa gue minta dikit aja kali ya.?" ia menggelengkan kepala.
Seingat Mala dulu ia pernah memakai pencuci wajah ibunya, seminggu penuh dirinya dipukul habis-habisan karena telah mengosongkan skincare itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Bullying (Mala)
Mystery / Thriller"Cewek jelek kaya lo harus sadar diri.!" jangan ganggu gue atau lo akan celaka.!" pekik Raden didepan wajah Mala. "Apa ini alasannya lo ngebully gue.?" lirih Mala dengan mata sayu nya. "Mau tau alasan kenapa lo di bully.?" Raden memincingkan matan...