49.

3.8K 331 19
                                    

SETELAH terjadi adu argumen yang mirip dengan pertengkaran rumah tangga di dalam ruangan yang hera tempati. Perkara Hera yang lagi demen cari gara-gara akhirnya Hera menyerah. Membuat wajah Alan sumringah seperti habis menang lotre.

"Ndan. Besok saya ijin bantu bang wildan survey harga sama letak panggung ya"

"Kenapa kamu ikut ? Kan udah di serahin ke wildan ?" Alan mengerutkan dahinya mendengar permintaan Hera barusan. Karena memang sudah jauh jauh hari sebelum hera menjadi ajudan sementaranya, Alan sudah meminta pertanggung jawaban acara lomba untuk memeriahkan HUT TNI di serahkan sepenuhnya kepada Wildan.

"Yang kenal vendor panggung kan saya ndan. Lagian juga berkas yang mendesak kan udah kelar. Tinggal giliran komandan aja nanti yang tandatangan" kilah Hera.

Keduanya saat ini sedang berada di dalam mobil milik Alan yang sudah terparkir apik di halaman mess yang hera tempati.

Sekarang sudah pukul sepuluh malam, dan Alan tidak mengijinkan Hera untuk membawa motornya sendirian meskipun masih dalam lingkungan lanud.

Agak berlebihan memang, tapi ya mau bagaimana lagi. Daripada kejadian tadi sore terjadi kembali, herapun mengiyakan ajakan Alan untuk mengantarnya pulang.

Alan mengultimatum Hera, pulang dengannya atau tidur di kantor bersamanya lalu Hera bisa pulang esok hari dengan membawa motor astrea kesayangannya itu.

Hera kadang tidak habis pikir, la wong ini loh masih di lingkungan lanud. Disana sini ada pos penjagaan. Terus kenapa Alan harus se khawatir itu. Apa Alan takut hera di terkam kucing liar atau apa. Karena di lingkungan ini ya memang adanya kucing liar nggak ada tuh yang namanya kolor ijo atau apalah yang membuat Alan khawatir.

"Emangnya kamu enggak bisa ngasih nomor vendornya aja ke wildan ? Kan sama aja ra" sanggah Alan, tetap belum mau mengijinkan Hera membantu wildan mendatangi vendor panggung untuk acara. Minggu depan

Hera menghela nafasnya, emang susah minta ijin sama Alan kalau masalah begini-beginian ini. Apalagi kalau Hera melakukannya tidak bersama Alan. Tambah sulit ijin turun.

"Kan yang udah biasa nawar saya ndan. Kalau nggak saya ya san pipit. Tapi kan san pipit lagi cuti. Masa iya saya tega enggak mau bantuin sih" ucap hera penuh nada memohon.

"Yasudah besok saya yang bilang sama wildan kalau kamu banyak kerjaan. Cuma nawar harga aja harus sama kamu. Emang kamu pawang tawar menawar" jawab alan masih kekeuh tidak memberikan ijin.

"Loh loh". Hera sontak merubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah Alan yang duduk di kursi kemudi, hendak protes atas solusi yang baru saja alan ucapkan. "Kok malah jadi komandan yang ngomong sama bang wildan? Saya enggak suka ya kalau komandan main tegur tegur begitu. Saya yang enggak enak nanti"

"Yang begitu memang perlu di tegur ra. Masa nyupir pesawat bisa tapi ngurusin harga panggung aja kamu sih"

Hera mendengus, kembali memutar tubuhnya seperti posisinya semula. Menghadap ke depan. Keduanya masih berada di dalam mobil.

Sepertinya sulit bagi Alan untuk membiarkan Hera segera turun dan masuk ke asrama untuk beristirahat.

"Yaudah kalau nggak boleh. Saya ijin masuk dulu" ucap dengan wajah masam khasnya. Rasanya kali ini Hera jengkel sekali dengan sikap kekanak-kanakan Alan

Gimana enggak jengkel plus kesel coba. Kerjaan hera udah kelar sampai besok. Tidak ada laporan yang tertinggal. Apalagi semua berkas itu juga sudah hera taruh di meja Alan mengingat ada beberapa berkas penting yang harus segera di kirim kembali.

"Hey.." Alan menahan lengan Hera yang hendak membuka pintu mobil untuk keluar

"Kenapa jadi marah sih ra. " Ucap alan, merendahkan suaranya agar hera tidak terpancing emosi.

BreakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang