Mobil sedan metalik itu memasuki gerbang sebuah rumah besar nan mewah. Pintu mobil terbuka, menampakkan gadis berseragam SMA yang tengah menggendong tas turun dari sana.
" Nuhun, Mang Udin."
Asya sempat tersenyum pada sopir yang selalu mengantar jemput dirinya itu. Dia berbalik, hendak memasuki pintu utama namun tertahan oleh sebuah mobil Jazz yang terparkir di pelataran rumah. Dia mengenal mobil itu.
Tanpa aba-aba Asya langsung berlari masuk.
Dengan jantung berdebar, dia melangkah memasuki ruang tamu yang kini mendapati tamu penting.
" Mama?!"
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menoleh kearahnya. Juga ada sang ayah yang ikut menatapnya dengan wajah gusar.
" Mama pulang? Iya? Mama pulang kan? Balik sama Papa?" Saking senang melihat ibunya, Asya berseru dengan semangat. Menantikan apa yang dia inginkan selama ini.
Tapi tak ada jawaban.
" Ma—"
" Asyara, masuk." Papanya, Matthias keburu menyuruhnya pergi. Wajahnya mengeras, menahan emosi yang siap meledak.
" Enggak Pa. Aku mau disini, mau liat Papa sama Mama lagi—"
" Tidak ada yang bersama." Matthias berdiri. Menoleh pada wanita itu. "Sesuai surat yang baru saja kamu tandatangani, kita akan bertemu di pengadilan."
" Papa?!"
" DIAM ASYARA!" Matthias meneriaki putrinya keras. Matanya melotot dingin, menyuruh Asya tidak ikut campur.
Sang Mama—Leyla perlahan berdiri. Menatap Matthias datar. "Ya... Sampai jumpa di pengadilan."
" Mama! Apa-apaan ini?!" Asya mendekati kedua orang tuanya. "Perceraian apa?!"
Matthias memijat pelipisnya yang berdenyut. "Kamu tidak perlu tahu. Masuk ke kamarmu!"
" Papa!"
"PAPA BILANG MASUK KAMAR SEKARANG!"
" NGGAK MAU! ASYA MAU DISINI, ASYA NGGAK MAU PERGI!" Gadis itu balik meneriaki Papanya. Menahan diri untuk tidak menangis. Asya memegang tangan Mamanya, yang sedari tadi memilih diam.
" Mama, Mama jangan pergi! Mama nggak boleh ninggalin aku sama Papa! Mama harus kembali. Ya, Ma?"
Leyla menghempaskan tangan sang anak. Kasar.
" Kamu tahu jelas keputusan Mama, Catharina." Ucapnya dingin. Kemana Mama yang selalu menatapnya hangat dan penuh kasih? Kemana?
Asya mematung saat ibunya perlahan melangkah hendak pergi dari sini. Cepat-cepat dia menahannya.
"Ma, Mama jelasin sama aku. Kenapa Mama ninggalin kita. Ma, aku masih butuh Mama. Papa juga, kita bisa barengan lagi kayak dulu. Ma, tunggu Asya!"
Asya akhirnya menangis. Dia menangis memegang tangan ibunya yang lagi-lagi dengan kasar di tampik begitu saja. Menoleh pada Papanya yang memilih diam, enggan berbuat apapun.
" Papa tolong hentikan Mama! Mama nggak boleh pergi! Mama!!"
" Asya, berhenti!" Matthias mencekal lengannya yang ingin mengejar Leyla. " Asyara!"
" Nggak bisa!" Asya menggeleng. Dengan air mata yang bercucuran di pipi. "Papa tolong hentikan Mama. Aku nggak mau Papa sedih lagi nunggu Mama pulang. Papa harus hentikan Mama!"
Matthias tak menjawab.
"MAMA BERHENTI. ASYA BILANG BERHENTI, MA!"
Ibunya tak menjawab. Bergegas menuju mobil Jazz miliknya. Tak menghiraukan panggilan sang anak yang memintanya kembali. Dia memasuki mobil dan menyalakan mesin.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKUNA.
Teen Fiction"Yang ku abadikan dalam cerita ini. Untukmu, sebuah rindu yang tak pernah mampu meminta temu. Dalam uluran sang waktu. " • • • • • Rafanendra Arsa Dirgantara. Cukup panggil dia Fandi. Cowok hits yang menjadi idola SMA Pilar Bangsa. Ganteng, kaya...