24. Bukankah Sudah Jelas?

151 25 49
                                    

Nyatanya aku bukanlah pengagum sebenarnya.
Rafanendra Arsa Dirgantara.





Bandung beranjak malam.

Gemerlap lampu kota berpendar elok.  Fandi melajukan motornya dan menyalip sebuah mobil. Pemuda itu semakin menambah kecepatan saat memasuki flyover Jembatan Pasupati.

Tak lama setelahnya, memarkirkan motor dan memasuki sebuah tempat tongkrongan hits yang berada di seberang Hotel Aston Tropicana. Kedai Cihampelas 130.

Pemuda tinggi itu membenahkan topi hitam yang kembali ia pakai begitu turun dari motornya. Tempat ini semakin ramai. Banyak orang yang mampir hanya sekedar nongkrong dan menikmati pemandangan kota Bandung malam hari.

Sampai pemuda itu mendekati sang kawan yang duduk sendirian menghadap view Jembatan Pasupati. Sambil merokok.

Mengetahui Fandi datang, Gio segera mematikan rokoknya. Pemuda berjaket kulit hitam itu sedikit menyeringai begitu Fandi duduk di sampingnya.

"Nih, Marlboro." ucapnya sambil menyodorkan sebungkus rokok.

Fandi menatapnya absurd. "Lu tau gue nggak ngerokok kan?"

Gio terkekeh. "Oh iya, Pentolan Pibasa kan sejak dulu selalu alim. Nggak pernah ngerokok. Rugi bandar dah selama ini lu nemenin Dilan mabok."

Fyi, memang diantara temannya yang lain, hanya Fandi yang tidak merokok.  Pemuda itu memang kelihatannya sangar, garang dan senggol bacok tapi nyatanya dia enggan untuk menghisap nikotin satu itu. Toh juga saat mereka nyebat, Fandi tahu diri dengan menghindar.

Teman-temannya yang lain juga menghormatinya. Mungkin hanya Gio saja yang usil menawarkan rokok atau membujuknya untuk sekedar satu dua hisapan.

"Cupu lu ah, Pan." Cibir Gio. "Cowok apaan tuh masak nggak pernah ngerokok."

"Bacot lu babi."

Gio hanya tertawa. Hingga pelayan mengantarkan pesanan miliknya. Nasi ayam bakar lengkap dengan lalapan dan segelas es jeruk. "Lu udah pesen kan tadi? Mau gue pesenin?"

"Udah. Tadi sempat pesen."

"Pesen apa?"

"Bandrek."

"Udah kayak orang tua aja lu, Pan." Gio mulai melahap makanannya. "Nggak mau pesen nasi ato apa?"

Fandi menatapnya jengah. "Gue udah makan tadi." Sebelum mengantarkan Asya pulang, Fandi mengajaknya makan sebentar.

"Kenapa juga lu nyuruh gue kesini?"

Gio menaikkan alisnya. "Gue cuma lagi pengen aja berdua sama lu."

"Jijik anjing."

Gio hanya cengar-cengir. Menatap Jembatan Pasupati dari kejauhan. Begitu juga dengan Fandi yang kini melepas topi, membiarkan angin malam mengacak helai rambutnya.

Hingga minuman pesanan Fandi telah di antar.

"Abis darimana lu?" Tanya Gio membuka topik lebih dulu. "Kayak habis hiling gitu muka jamet' lu."

"Dari Ciwidey."

"Njirrr, jauh amat sampe sana."

"Masih Bandung woi." Dengus Fandi tak habis pikir dengan temannya itu. "Jauh juga kalo gue sampe Merauke."

LAKUNA.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang