15. Fandi, Kita Ini Apa?

138 35 59
                                    

Ada satu hal yang selalu dipikirkan Asya selama ini.

Tentang sikap Fandi, perlakuan pemuda itu. Tentang mereka. Dari awal hubungan yang bernamakan pacaran ini dimulai.

Asya selalu penasaran akan satu hal.

Kenapa Fandi tidak merespon sesuai apa yang ia lakukan selama ini? Asya tahu satu hal tentangnya. Dari dulu memang temperamen si pemuda tidaklah ramah. Dia begitu dingin, datar, acuh tak acuh. Tapi jika Fandi menjadikannya pacar, bukankah ada sedikit sikap hangat untuknya? Atau setidaknya perlakuannya pada Asya sedikit berbeda dari yang lain.

Salahkah Asya berharap begitu?

Sebenarnya sudah lama Asya menyimpan pikiran ini. Bertanya dalam hati dengan rasa janggal tentang hubungan yang ia jalin dengan Fandi. Sudah lama ia pendam, dan kali ini tak tahan lagi untuk Asya ungkapkan.

Kelas 12 telah selesai ujian praktek hari pertama. Berbondong-bondong menggendong tas menuju parkiran, bersiap pulang. Atau sekedar berjaga di gerbang depan—menunggu jemputan.

Asya memilih melihat teman-teman seangkatannya bergegas pulang. Berdiri diam sembari menumpukan badan di pagar pembatas lantai dua.

Gadis itu lebih banyak diam beberapa hari ini.

Apalagi setelah pertengkaran kedua orang tuanya, ditambah beban pikiran untuk ujian praktek dan tentu saja tentang hubungan asmaranya.

Asya menoleh saat mendengar langkah kaki dari belakangnya. Mendapati Fandi yang kini mendekat. Berdiri menjulang dengan balutan jaket Levis hitam. Menatapnya datar seperti biasa.

"Fandi belum pulang?"

Pemuda itu terdiam. "Belum."

Asya sedikit tersenyum. "Nyelesaiin urusan apa? Penting banget kayaknya."

Fandi lagi-lagi terdiam. Sedikit menghela nafas, menatapnya lekat. "Nemuin Wahyu."

"Bukan Mutia?"

Fandi mengernyit. "Kenapa tiba-tiba?"

Asya mengalihkan pandang. "Nemuin Mutia kan?"

Fandi memijit keningnya, menghela napas. "Gue nemuin Wahyu, Asya. Dia masih keukeuh soal foto Buken. Bukan nemuin Mutia."

"Udah panggil nama gitu. Akrab banget ya?"

Fandi berdiri tepat di depannya. "Kenapa bilang begitu?" tanyanya dengan intonasi yang lebih lembut.

"Apasih, emang aku salah?" Asya menghela nafas pendek. "Aku liat kok tadi, kamu sama Mutia. Gausah boong. Basi."

"Kan Mutia juga diminta tolong OSIS, ya makanya dia ada di sana." Fandi lagi-lagi memijit pelipisnya. "Kenapa belum pulang? Sopir lu mana?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.

Tapi Asya tidak teralih topik bahasan. "Kamu ada hubungan apa sama Mutia?"

"Naon atuh, Sya?" tanya pemuda itu dengan suara mengiba. Dia sedang tidak ingin ribut sekarang. Ayolah.

"Harusnya aku yang nanya dong," Asya mendongak. Menatap pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu. "Enggak sekali dua kali aku liat kamu sama Mutia, Fandi. Tadi pagi aku juga liat kamu sama dia. Minggu lalu juga pas di Warbet. Juga pas kamu di kantin dulu itu. Aku tau, aku liat jelas, Fandi."

Pemuda itu terpaku.

"Aku diam bukan berarti aku nggak tau apapun," Asya memegang tangannya erat. "Aku tau semuanya."

"Lu tau apa?" Fandi mendekat, memajukan wajahnya hingga berjarak beberapa sendi dari wajah kekasihnya. Bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan. Berucap dingin menusuk. "Lu tau apa tentang gue, Asya? Bisa gitu lu bilang lu tau segalanya? Apa yang lu tau heh?"

LAKUNA.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang