6. Asya, Aku Disini. Untukmu.

216 56 113
                                    

(๑ↀᆺↀ๑) ----(๑ↀᆺↀ๑)

Rumah yang ku impikan telah rusak. Rumah itu sudah bukan tempat ku pulang.


Semilir angin menerbangkan helai rambut. Terasa sejuk. Damai.

Sepasang anak adam kini duduk di bangku yang tersedia di rooftop, sembari menikmati jalanan ramai di bawah sana. Langit tampak mendung, Bandung suasana kelabu.

Bel Ishoma sudah berbunyi sedari tadi. Banyak murid-murid yang menghabiskan waktu sebelum pelajaran dimulai dengan kegiatan apapun. Begitu juga Fandi yang baru selesai menunaikan sholat Dzuhur kini duduk bersama sang pacar. Menunaikan janji untuk makan bersama.

"Aku cuma masak ini," Asya mengatur dua bekal itu dengan telaten. "Semoga cocok di lidah kamu."

"Lu? Masak?" Fandi mengusap rambutnya yang masih sedikit basah air wudhu. Raut pemuda itu seperti biasa, datar.

"Em, iya. Hehe." Asya menggaruk pipi canggung. "Tapi tadi di bantu Bik Sum kok. Jadi aku hemat waktu. "

Fandi melihat menu di bekalnya. Terlihat enak. Wajah si pemuda sedikit menunjukkan senyum, sekedar menghargai gadis di depannya itu.

"Nuhun." Ucapan penuh ketulusan dari Fandi entah kenapa membuat Asya terharu. Sudah berapa lama usahanya begitu di hargai? Ia sudah lupa.

"Enak?" Gadis berambut panjang itu menatap sang pemuda yang melahap makanan buatan nya.

"Hn."

"Beneran enak?"

"Iya, Asya."

"Makasih, Fandi." Asya tersenyum. Sedikit berkaca-kaca. Ikut menyuapkan nasi tapi langsung tertahan oleh ringisan miliknya.

Fandi mengangkat kepala, menatapnya. Asya nampak memegang sudut bibirnya yang lebam.

"Bibir lu kenapa? "

"Em, gapapa." Asya mengalihkan pandang. "Gak sengaja kegigit. "

"Lu gigit mulut lu sendiri gitu?" Fandi menurunkan tangan si gadis. "Gausah bohong. Gue tau lu luka. "

"Fandi, aku gapapa." Asya sedikit menjauhkan tubuh nya tapi kalah cepat oleh cekalan pemuda itu.

Fandi terdiam menatap luka di sudut bibirnya. Masih nampak baru. Rahangnya mengeras.

"Siapa yang lakuin ini?"

Tak ada jawaban.

"Asyara, " Panggilnya sekali lagi. Fandi tak main-main.

"Gapapa, udah." Asya menurunkan tangan kekasihnya. "Gapapa Fandi, aku udah terbiasa. Nggak sakit. Nggak sakit lagi kok." Ucapnya sambil gemetar.

"Lu pikir kekerasan itu bisa jadi hal yang biasa?" Fandi mengepalkan tangan. "Jawab gue, hah? "

"A-aku nggak papa." Asya sekuat tenaga menahan tangisnya.

"Lu gak bisa bohongin gue," Fandi kembali memegang tangan Asya. Erat-erat. "Asya,"

Tangan yang saling mengenggam itu salah satunya menguat. Asya meremas tangan Fandi, sekuat tenaga. Hingga tangis itu pecah.

LAKUNA.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang