Parkiran Pibasa sejak tadi sudah ramai.
Pagi ini cuacanya cerah. Matahari menampakkan sinarnya dengan garang. Murid-murid mulai berdatangan dengan motor mereka. Mencari spot kosong untuk memarkirkan kendaraan miliknya.
Di sudut parkiran, dibawah naungan pohon mangga yang lumayan rindang ada sekelompok remaja laki-laki tengah berceloteh tentang ujian praktek yang dimulai hari ini.
"Woi kang, gimana dah sama uprak hari ini?" Roma—murid IPS 7 tengah duduk sambil memangku hoodie abu yang baru saja dia lepas. Bertanya pada Dilan yang berjongkok sambil menyuap nasi kucing dengan lahap.
"Lancar wae atuh." Dilan menaikkan sebelah alisnya. "Bisa diatur."
"Perasaan baru kemaren kita masuk SMA eh udah kelas 3 aja. Tiba-tiba uprak. Tinggal berapa minggu juga lulus." Sahut Tama yang duduk di jok motor bebek miliknya.
"Gausah melow dong," Ipul menoyor pipi Tama dengan hempasan manjah. "Masih pagi juga."
"Salah Pul," Koreksi Gio yang berjongkok di sebelah Dilan. Bedanya dia tengah memegang sebuah buku catatan bahasa Indonesia. Sekedar membacanya sebagai bekal untuk uprak nanti. "Justru pagi-pagi tuh enaknya buat galau. Apalagi ini kan tentang kita. Akhir cerita SMA kita."
"Gaya lu udah kayak pujangga aja, met. Jamet!"
"Iya, pujangga angkatan '45."
"Tolol!"
Kelima pemuda SMA itu bertawa berbarengan. Menikmati masa putih abu yang mungkin tidak bisa mereka temukan lagi setelah ini.
"Kelas gue hari ini mah uprak nya cuma bahasa Indonesia sama agama." Ucap Tama membuka topik bahasan lebih dulu. "Lu gimana Roma kelapa?"
Pemuda dengan poni belah tengah itu mengusap rambut kasar.
"Gue bahasa Sunda." Ucapnya nelangsa. Uprak kelasnya dengan kelas lain jelas berbeda. Tapi intinya sama. Di mulai senin ini dan berakhir Jum'at nanti.
"Anjirrr laaa, Bu Lindha bukan?" Tanya Ipul memastikan. Soalnya kalo Bu Lindha itu udah tua, ngajar juga suaranya gak keras-keras amat. Jadinya muridnya pada ngeblank.
Roma menggeleng. "Pak Izal."
Gio tertawa. "Mampuss lu. Suruh buat apa?" Nah, kalo Pak Izal tuh lumayan asik. Tapi perfeksionis banget. Agak galak juga.
"Pidato sama nembang."
"Nembang apaan?" Dilan baru menyahut setelah menghabiskan makanannya.
"Nembang Pupuh."
Dilan mengernyit. "Pupuh tuh tembang macapat bukan sih? Setau gue tembang Pupuh tuh dari Jawa deh."
Tama melotot. "Lu kira yang punya tembang gituan cuma Jawa. Sunda juga ada bos!"
Ipul mengangguk. "Kalo di Jawa ada aksara Jawa. Sunda juga ada aksara Sunda. Sadar ato enggak, budaya kita itu emang ada beberapa yang punya kesamaan. Tapi gak sama. Ngerti gk lu?"
Roma tertawa. "Santai Pul. Masih pagi gausah ngegas."
"Sori, tapi ini gue mau ngegas sampe Ciwidey."
"Bodo amat lu kuah batagor Ciamis!"
"Tapi gue nggak bisa bahasa Sunda nih." Tutur Dilan lebih dulu membuka topik pembicaraan. "Tau tapi nggak apal-apal amat."
Gio menatapnya sinis. "Maennya orang Sunda teu ngarti bahasa Sunda? Lucu pisan maneh!"
"Lah, gue kan ada campuran China mamen!"
"Oh iya, lu kan produk impor!"
"ASW!"
Tama jelas ketawa ngakak. Ipul apalagi. Roma juga, haduhhh, sampe mau pargoy dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKUNA.
Teen Fiction"Yang ku abadikan dalam cerita ini. Untukmu, sebuah rindu yang tak pernah mampu meminta temu. Dalam uluran sang waktu. " • • • • • Rafanendra Arsa Dirgantara. Cukup panggil dia Fandi. Cowok hits yang menjadi idola SMA Pilar Bangsa. Ganteng, kaya...