Bab 18

1.8K 242 30
                                    


Setelah mengantar Burhan ke kediamannya, Ali memutar setir mobil menuju kantor Prilly. Meskipun sudah hampir seharian ia belum memejamkan matanya, Ali tetap keberatan untuk kembali ke apartemennya. Ia yakin setibanya disana ia pasti akan kembali beradu mulut dengan Ibunya. Jadi lebih baik ia menenangkan dirinya dengan menghabiskan waktu bersama calon istrinya.

Sepanjang perjalanan menuju kantor Prilly, kembali Ali mengingat percakapannya dengan Burhan sepanjang perjalanan pulang mereka tadi.

"Nak Ali bisakah Papa memberikan pendapat perihal hubungan kamu dan Prilly?" Ali yang sedang menyantap makanannya sontak meletakkan sendok dan garpunya lalu memusatkan perhatiannya pada calon mertuanya.

"Silahkan Pa."

Burhan ikut meletakkan sendok dan garpu miliknya. Tatapan teduh pria paruh baya itu benar-benar membuat kembali merasakan kasih sayang seorang Ayah.

"Eum sejujurnya ini bukan pendapat melainkan lebih kepada permintaan." Burhan terkekeh pelan membuat Ali ikut tertawa. "Silahkan Pa, jika saya bisa memenuhinya pasti akan saya penuhi permintaan Papa." Sahut Ali dengan wajah cerahnya.

Menghabiskan waktu bersama calon Ayah mertuanya ternyata sangat menyenangkan.

"Jika Papa ingin kalian segera menikah. Apakah itu permintaan yang berat?" Ali terdiam sejenak, ia tidak menyangka jika permintaan Burhan berkaitan dengan rencana pernikahannya dan Prilly.

"Papa hanya takut jika terlalu lama ditunda, eum Papa tidak memiliki lagi kesempatan untuk melihat kalian bahagia." Ucap Burhan dengan senyuman kecilnya. Pria itu masih bisa tersenyum bahkan disaat dirinya tahu jika usianya mungkin tidak akan lama lagi.

Penyakit jantung yang ia derita sudah memasuki fase kronis sehingga upaya apapun yang akan dilakukan kemungkinan dirinya untuk tetap hidup sangatlah tipis. Jadi, Burhan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang masih ia miliki dan satu-satunya keinginan terakhir yang ia miliki adalah melihat putrinya bahagia.

Ali benar-benar kehilangan kata-kata, dirinya seperti dicambuk saat ini. Burhan begitu tulus mempercayai putrinya pada dirinya sedangkan dia menikahi Prilly hanya karena ingin lepas dari jeratan Ibunya, bukankah ia benar-benar terlihat seperti bajingan sekarang ini?

"Kalau Nak Ali keberatan juga tidak--"

"Enggak Pa, saya sama sekali tidak keberatan nanti saya akan bicarakan hal ini dengan Prilly." Potong Ali yang sontak membuat Burhan tersenyum lebar.

Dan sekarang Ali sedang dalam perjalanan menuju kantor Prilly selain ingin bertemu dengan gadis itu ia juga ingin membicarakan perihal pernikahannya dengan Prilly. Jika memang Prilly setuju maka ia akan segera menikahi gadis itu.

Mobil yang dikemudikan Ali mulai memasuki area perkantoran, sesuai dengan arahan satpam Ali memarkirkan mobilnya di jajaran mobil yang  dikhususkan sebagai tamu atau klien penting. Ali turun dari Fortunernya lalu berjalan menuju lobi kantor.

Ini pertama kalinya Ali menginjakkan kakinya di kantor Prilly setelah mereka berkenalan. "Selamat siang Pak ada yang bisa kami bantu?" Seorang resepsionis muda menyapa Ali dengan begitu ramah.

"Saya ingin bertemu dengan Ibu Bos." Ujar Ali yang mengingat kembali hari dimana Prilly dipanggil Ibu Bos oleh karyawannya.

"Maksud Bapak, Ibu Prilly?" Ali mengangukkan kepalanya. "Benar."

"Baiklah. Sebelumnya Bapak sudah membuat janji dengan beliau?" Ali menggelengkan kepalanya. "Belum. Saya hanya tiba-tiba ingin bertemu dengan Ibu Prilly." Jelas Ali yang membuat resepsionis itu mengangukkan kepalanya.

Ali diminta untuk menunggu sejenak dan pria itu melakukannya dengan sabar. Ia mengerti jika sosok wanita yang akan ia nikahi bukanlah orang sembarangan jadi wajar jika ia harus menunggu seperti ini.

Please, Marry Me Dokter!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang