SIX - Negotiation

170 16 0
                                    

"Berhenti meronta, kau tidak akan disakiti."

Kau sudah menyakitiku, ujar Lena dalam hati sambil menggeliat-geliatkan badannya meminta untuk dilepaskan. Tangannya mulai berkedut-kedut akibat dicengkeram. Pahanya sudah kebas akibat tindihan badan lelaki itu yang sama sekali tidak ringan. Jika orang asing melihat posisi mereka berdua saat ini, pasti akan berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih gila yang kebablasan melepas rindu. 

"Aku hanya ingin bicara. Tenanglah sebentar." Nada suaranya melembut, tapi tidak dengan cengkeraman dan tindihannya.

Menyadari aksi sia-sianya, Lena berhenti menggerak-gerakkan badannya seperti cacing. Nafasnya perlahan mulai teratur dan ketika lelaki itu yakin jika perempuan di hadapannya tidak akan berontak ataupun melarikan diri, ia melepaskan kedua tangannya. Badannya masih menindih Lena dengan posisi yang sangat tidak sopan. 

"Apa maumu?" tanya Lena ketus, seraya menatap tangannya yang kemerahan. 

Lelaki itu begitu terkejut dengan ucapan Lena, seakan-akan ucapannya telah melukai harga dirinya. 

"Kau tidak tahu siapa aku? Aku tidak akan melukaimu. Aku mohon tenanglah sebentar."

"Aku tahu siapa kau. Tapi aku juga tahu bahwa kau sudah menyakitiku sekarang, Pangeran."

Pangeran Benjamin Louis Heimdall, anak kedua dari Raja dan Ratu Norwind, terduduk di atas Lena. Peluh membasahi dahinya dan pundaknya naik turun dengan ritme tergesa. Rambutnya tak serapi tadi, namun ia tetap pangeran yang mempesona. Pangeran yang gemar membuat banyak wanita patah hati. Dengan hidung mancung dan dan lesung pipi di satu sisi, tak heran separuh perempuan dunia begitu tergila-gila padanya. 

Menyadari tindakannya, Sang Pangeran langsung mengubah posisi duduknya. Ia membiarkan Lena bangkit terduduk dengan beberapa helai daun yang menyangkut pada rambut dan noda tanah di sebagian wajahnya. Sang Pangeran duduk menyandar di salah satu batang pohon terdekat, cukup pintar untuk membuat Lena tetap berada dalam jarak jangkaunya, jikalau perempuan itu memilih untuk melakukan tindakan bodoh. 

"Apa yang kau lakukan disini? Apakah kau wartawan? Apakah ada yang menyuruhmu untuk membuntutiku?" ia bertanya dengan nada tenang namun tatapannya menghunus.

"Setahuku Foster Park adalah tempat umum, Yang Mulia." Lena melontarkan sebanyak mungkin rasa sinis dalam ucapannya.

"Serahkan ponselmu."

"Apa maksudmu?"

Sang Pangeran berusaha merebut ponsel yang Lena genggam dengan makin erat. 

"Mengapa kau merekamku tadi? Apa tujuanmu?"

"Aku kira kau akan menyakiti perempuan itu."

Sekarang, gantian Sang Pangeran yang membelalak menatap Lena. Tak lama kemudian, ia tertawa terbahak-bahak. Lena hanya dapat menatap heran. Ia menggunakan kesempatan ini untuk mengambil kuda-kuda agar bisa berlari sejauh mungkin. Menyadari gelagat ini, Sang Pangeran memegang pergelangan kedua kakinya, dan menariknya mendekat. Pantat Lena terasa sakit saat menggilas ranting dan tanah lembab.

"Jangan bodoh. Larimu tidak kencang. Kau mau aku rubuhkan lagi di tanah?"

Tatapannya begitu mengintimdasi. Tidak ada secercah tawa lagi yang tersisa di mimik mukanya. 

"Bolehkah aku pergi? Kau membuatku tidak nyaman." Lena melirik ke arah cengkeraman sang pangeran di pergelangan kakinya. 

Pangeran mengikuti arah pandang Lena dan melepaskan cengkeramannya. Lena menarik kakinya, membenarkan posisinya duduknya. 

"Dengar, aku tidak tahu apa maksudmu. Aku juga tidak paham mengapa kau mengejarku, tapi jika kau takut aku akan menyebarkan videomu berciuman dengan pacarmu, aku bersumpah tidak akan melakukannya."

"Dan, apa jaminannya?"

Lena menghembuskan napas, "Aku bekerja di istana. Jika aku melanggarnya, aku juga melanggar sumpah. Dan aku tidak ada niat untuk menjadi pengangguran lagi dalam waktu dekat."

Pangeran memiringkan muka, menatapnya heran, "Aku tidak pernah melihatmu."

"Memang apa yang pernah kau perhatikan?"

"Aku memperhatikan cukup banyak hal." 

Sebuah senyum miring menghiasi tampang rupawannya, melesakkan lesung pipinya begitu saja. Lena menahan napas sejenak, mengakui bahwa lelaki ini memang tampan bukan main. Tapi ia sedang tidak ingin terlibat masalah dengan siapapun, terlebih dengan calon majikannya. Sekarang ini, hanya menatapnya saja rasanya sudah cukup berdosa. 

"Aku minta maaf soal kelancanganku." ujar Lena pada akhirnya. 

Ia hendak berdiri dan sang pangeran dengan gesitnya langsung membantunya menyeimbangkan diri. Sentuhannya dingin, membuat Lena berjengit dan dengan segera menarik tangannya dari sang pangeran.

"Aku berjanji tidak akan memberitahukannya kepada siapapun, jika itu yang kau inginkan. Kau tidak perlu khawatir, aku orang yang selalu menepati janji."

Tatapan pangeran itu menyisir Lena yang sedang membersihkan bawahan hitamnya. Ia hendak mengambil beberapa helai daun yang bertengger di rambutnya, namun dengan segera diurungkan ketika tangannya sudah terulur setengah jalan. Untungnya Lena tidak memperhatikan. Sang pangeran berdeham, mendadak merasa lancang.

Sesuatu dalam diri perempuan itu membuatnya percaya. Ia hanya perempuan biasa, pikirnya. Perempuan tanpa tatapan penuh puja sebagaimana perempuan yang selalu ia jumpai. Ia hanya seseorang yang bekerja di istananya, seseorang yang tidak akan melanggar sumpah kerajaan. Seseorang yang hanya ingin bekerja dan terhindar dari masalah yang beresiko menyulitkannya di kemudian hari. 

Menyadari dirinya dipandangi oleh sang pangeran, Lena pun menatapnya, "Apakah ada hal lain yang kau khawatirkan," tanyanya, "Halo?"

Sang pangeran sadar bahwa ia telah memandangi perempuan itu terlalu lama. Mengutuk kebodohannya, ia segera berdeham, "Tidak."

"Kalau begitu aku permisi."

Lena membungkuk sopan, yang dibalas sang pangeran dengan anggukan perlahan. Dalam beberapa detik, Lena sudah berada cukup jauh, membiarkan sang pangeran menatap belakang tubuhnya yang pasti penuh dengan noda tanah. 

"Tunggu! Siapa namamu tadi? Miss..." 

Lena berbalik tepat ketika berada di jalan masuk Foster Park yang berpagar hitam. Ia melihat sang pangeran yang sudah cukup jauh. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Bahkan dalam jarak sejauh ini, ia masih bisa melihat dengan jelas betapa tegap bahu lelaki itu dalam balutan jaket kulit hitam. 

"Bukan siapa-siapa. Miss Nobody." teriak Lena, tanpa berpikir ulang sang pangeran mendengarnya atau tidak. 

Lena pun pergi dengan langkah cepat dan mantap. Alih-alih berusaha teguh pendirian dengan berjalan kaki pulang ke rumah, ia memutuskan menggunakan kereta bawah tanah. Bahkan ketika ia menyentuh kursi kereta yang empuk, badannya masih pegal di beberapa bagian. Ia menguap dan menyandarkan kepala di jendela, menatap fasade-fasade bangunan merah-hitam, alun-alun Applebee dengan air mancur raksasanya, restoran pizza tempatnya bekerja dulu dan banyak lagi. 

Ia masih mencerna dan mengulang kejadian hari ini. Pikirannya tertuju pada perempuan--atau kekasih--sang pangeran. Dimana ia pernah melihatnya? Yang jelas perempuan itu berbeda dengan perempuan bergaun perak di TV. Perempuan di taman itu terlihat lebih berkelas. Dan entah kenapa, Lena merasa Sang Pangeran benar-benar menaruh hati padanya. 

Jika memang begitu, kenapa harus terkesan sembunyi-sembunyi?, tanyanya dalam hati. Apa yang begitu rahasia hingga ia tidak menginginkan hubungannya dengan Si Rambut Merah diketahui publik?

Beberapan dugaan menggelayut di pikirannya. Namun rasa penasaran kalah dengan rasa kantuknya. Ia pun menguap, membiarkan udara sejuk pendingin udara di atasnya menampar-nampar pipinya. Ia merasa sanggup tertidur hanya dalam sekejap.

***

the Troublemaker PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang