TWENTY TWO - Into the Wind

136 14 2
                                    

Angin sepoi menyapu rambut Lena yang terjuntai dari ikatnya. Rasanya menyenangkan menghirup udara segar setelah berada di dalam istana selama hampir seharian penuh. Belum lagi rasa lelah yang menggelayut di punggung dan kakinya berkat latihan bersama Mrs. Carlson.

Ia menumpukan kedua tangannya di atas pintu mobil, menatap lampu kota yang pucat terkena sisa tetesan hujan. Lena menoleh ke arah pengemudi, menatap gerak-gerik Ben yang tengah mengoper persnelling dengan cekatan. Mata lelaki itu terfokus ke depan, menyalip beberapa mobil dan bus yang terlalu lamban. Lena bertanya-tanya, alih-alih menjadi seorang pangeran, mengapa dia tidak beralih profesi menjadi seorang malaikat saja.

Ben merasakan pandangan Lena. Ia hanya tersenyum kecil dan tak berkomentar apapun, sehingga Lena tak mengubah arah pandangannya.

"Aku benar-benar tak percaya kau mengantarku pulang." Suara Lena teredam oleh suara mesin yang menderu, tapi Ben masih bisa mendengar dengan baik.

"Aku pun tak percaya ada orang lain yang kuizinkan naik Mustang-ku."

Lena tersenyum. Ia menatap 1966 Mustang Convertible yang termasuk mobil klasik kesayangan Ben. Bodi merah mengkilatnya terasa seperti membelah gelap jalanan yang serba abu dan hitam. Bahkan di antara pantulan neon dan baliho iklan kota, mobil itu masih paling menonjol. Penutup atap mobil sengaja dibuka karena Ben bersikeras mengajak Lena merasakan Mustang-nya dengan kesenangan maksimal.

Meski Lena tak keberatan pulang menggunakan kereta bawah tanah, Ben tak mengizinkannya. Ia langsung mengajaknya ke garasi pribadi kerajaan—salah satu tempat yang Lena belum pernah temui dalam istana—dan keluar melalui gerbang lain yang tidak biasa ia gunakan saat keluar-masuk istana. Pegawai istana yang melihatnya tak dapat berbuat banyak karena Ben langsung menerobos gerbang sambil berteriak, "Tak akan lama."

Bukan hal biasa anggota kerajaan menyetir kendaraan pribadi, bahkan Lena yakin hal tersebut dilarang dalam aturan. Tapi penurut memang tidak pernah ada dalam DNA Ben.

Lena menoleh ke arah Ben lagi, kini lelaki itu tak terlalu fokus menyetir. Tatapannya masam.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak penting."

"Ayolah, tidak mungkin tidak penting jika kau terlihat kusut begitu." Lena mengubah posisi duduknya menghadap Ben.

"Aku hanya penasaran apa yang akan dilakukan Alex selanjutnya. Dia tidak tampak seperti seseorang yang akan menggagalkan pernikahan."

"Bicaralah dengannya."

"Kami tidak membicarakan hal seperti itu." Tangan Ben mengeratkan genggamannya di kemudi.

"Kalian adalah keluarga, Ben. Tidak ada yang lebih dapat membantunya dibanding kau."

Ben diam sejenak. "Maukah kau berbicara dengannya?"

"Aku bukan narahubung kalian."

"Kumohon, Lena. Aku agak merasa kasihan padanya." Ben menangkap mata Lena sedetik, sebelum mengembalikan pandangannya kembali ke arah jalanan.

"Ya. Aku pun demikian, Ben."

"Bicaralah padanya sebelum acara besok. Barangkali dia memutuskan untuk kabur dari jamuan."

"Tampaknya Alex bukan tipe orang yang suka lari dari masalah."

"Tapi terjebak dalam pernikahan yang tidak membuatnya bahagia, itu juga tidak dapat dibenarkan, Lena."

Lena memikirkannya sejenak. Ben benar. Mau tak mau ia ikut penasaran dengan apa yang akan dilakukan Alex. Terpikir olehnya untuk menanyakan langsung kepadanya, namun mengingat pertemuan terakhir mereka yang sangat canggung, ia bahkan tidak tahu harus berkata apa setelah mengatakan "hai" atau "halo".

the Troublemaker PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang