TWELVE - Somewhere Away

166 15 0
                                    

Mobil berhenti di pelataran parkir pantai St. Clark berkilo-kilometer jauhnya dari kota. Tiada sepatah katapun yang diucapkan Ben sepeninggalnya mereka dari istana. Ben membisu dan memejamkan matanya sepanjang perjalanan, meski Lena yakin pangeran tidak sedang tidur.

Pasir keemasan meraba kakinya dengan lembut setelah ia melepaskan sepatu dan stockingnya. Ia menghirup nafas dalam-dalam, memejamkan mata dan membiarkan buih air putih membasahi mata kakinya. Sudah lama sekali ia tidak ke St. Clark namun begitu tempat ini tidak jauh berbeda dengan kali terakhir ia mengingatnya.

Mustahil Pangeran akan keluar seorang diri, begitu pikir Lena. Meski pantai ini cukup sepi, Pangeran tidak akan mengambil resiko menunjukkan wajahnya di hadapan publik tanpa menimbulkan sedikit kegaduhan.

"Menikmati pantainya?"

Lena berdeham, setengah menjawab pertanyaan Ben dan setengah kesal karena dugaannya salah. Bahu mereka bersisian sangat dekat, membentuk siluet panjang di belakang kedua sosok itu.

Ben mengenakan topi baseball dan kacamata hitam. Ajaibnya, ia telah bertelanjang dada dan mengganti celananya dengan celana pantai selutut. Meski ia masih nampak seperti seorang pangeran di mata Lena, orang yang tidak terlalu memperhatikannya pasti menyangka ia hanya wisatawan biasa.

"Aku cukup sering kesini untuk menjernihkan pikiran."

Tentu saja kau bisa sering-sering kesini, pikir Lena. Kau tak akan pusing memikirkan seberapa jauh pantai ini dari kota.

Pangeran memiringkan badan, menyentuh bahu Lena dengan galak.

"Tidak ada komentar sinis? Tidak ada keinginan untuk mendorongku ke laut? Apapun?"

90 menit perjalanan rupanya merupakan rekor terlama Pangeran untuk bisa menahan diri tidak bersikap menyebalkan, karena setelahnya ia jelas kembali ke setelan pabrik.

"Aku sempat hendak melakukannya." Lena mengakui, memicingkan mata ke arah rambut Ben yang tertampar angin.

Ben ajaibnya malah tertawa, jelas-jelas sangat terhibur dengan pengakuan Lena.

Beberapa saat mereka hanya berdiri di sana, menikmati matahari sore berwarna jingga yang tertutup awan di kejauhan. Harus diakui, suasana pantai yang sepi ini memang cocok sebagai tempat pelarian. Hanya dengan memandang buih air dan gulungan ombak di kejauhan mampu menenangkan ketegangan di batin Lena. Kalau saja seragam kerjanya ini tidak cukup merepotkan, ia pasti sudah berbaring di kursi pantai tak jauh dari sana, menggelapkan sedikit badannya agar tidak sepucat kapur.

"Kau tak ingin melepas seragammu yang konyol itu?"

Aneh sekali betapa Ben seakan bisa membaca pikirannya.

"Lalu apa? Membiarkanmu melihatku setengah telanjang begitu?"

Ben menyeringai, menampilkan lesung pipit di satu sisi wajahnya, "Akan kuanggap kau tidak pernah mengatakan itu."

Hening kembali.

Setelah semenit penuh, Ben beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menyusuri tepian, berjalan sejajar dengan garis pantai. Setelah beberapa meter jauhnya, Lena merasakan dorongan kuat untuk menyejajarinya, menanyakan hal-hal yang tidak bisa ia tanyakan ketika sedang berada di tempat lain.

"Aku selalu bertanya-tanya, kenapa kau tidak bisa melepaskan Rose? Semua wanita menggilaimu, bersedia menjadi teman kencanmu atau bahkan teman tidurmu. " Ben menatap Lena tajam ketika ia selesai mengucapkan dua kata terakhir. "Maksudku begini, kau bisa memilih perempuan manapun asal bukan tunangan kakakmu. Aku pernah melihatmu dengan perempuan bergaun perak itu, kenapa bukan dia? Kenapa harus... Rose?"

the Troublemaker PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang