TEN - Argue

159 14 0
                                    

Pintu toilet tertutup dan bunyi klik terdengar mencekam di telinga Lena. Ia berharap melihat sosok berambut pirang dengan mata sewarna laut.

"Keluar kau." Lena menggertak meski tahu Ben tak akan menurut.

Rambut cokelatnya yang menyerupai selai bergoyang mengiringi nafasnya yang terengah-engah. Beberapa helai rambut terjuntai di dahi. Mata hazelnya menatap lurus ke arah bayangan Lena di cermin. Lena terbakar setiap detiknya.

Ben bersedekap, urat-urat di tangannya semakin menonjol, seakan mampu merobek baju polonya. "Sekarang kau tahu mengapa aku begitu defensif."

Lena membalikkan badan. Tetes-tetes air membasahi baju kerjanya, "Defensif kau bilang?" Lena mencemooh, "Kau pengecut!"

Kata-kata itu menyembur begitu saja dari mulut Lena. Ia begitu muak dengan manusia di hadapannya ini. Bulir air terasa panas di pelupuk matanya. Ia hanya ingin bekerja disini, bukan menjadi bagian dari pasukan pengkhianat Alex.

Mengingat Alex membuatnya pedih.

Alex tidak pantas mendapatkan ini.

"Kau menjijikkan!" Lena menekankan setiap kata, suaranya menggema di toilet ini.

Ben menarik bibirnya membentuk sebuah cengiran, kemudian ia berjalan pelan ke arah Lena.

"Jangan mendekat atau aku akan teriak."

"Teriak saja," Ben tertawa, "Kau lupa sedang berada dimana?"

Lena menoleh kanan-kiri mencari sesuatu agar bisa menjauhkan Ben darinya. Sebuah vas kaca pipih berada di antara kedua wastafel, berisi setangkai bunga matahari kuning yang menyilaukan di tengah nuansa toilet yang abu-abu. Ia mengarahkan vas itu ke arah Ben.

"Diam disitu atau aku akan melukaimu."

Ben berhenti, "Lena Wyers, lihatlah apa yang sedang kau lakukan," ia menyusurkan jemari ke rambutnya dengan tatapan penuh keangkuhan, "Kau sedang mengancam Pangeran Norwind, Duke of Gryffith, Benjamin Louis Heimdall, yang saat ini penerus kedua kerajaan. Kau yakin kau tahu apa yang sedang kau lakukan?"

Dada Lena naik turun. Ia ingin menghantamkan vas ini ke wajahnya yang tampan namun resiko kehilangan pekerjaan tidak sanggup ia tanggung. Tidak sekarang.

Lena meletakkan vas di kabinet, menyerah.

"Alex tidak pantas kau perlakukan seperti ini. Dia terlalu baik." kata Lena lirih.

"Dengar, hanya karena kau terpesona dengan Alex, bukan berarti aku tidak baik."

"Terpesona?" Lena setengah berteriak, tak percaya dengan tuduhan Ben, "Aku tidak terpesona. Aku menghormatinya. Aku menghargainya."

"Oh ya? Kau pikir aku tidak melihatnya? Kau menatapnya seperti anak anjing menatap induknya. Kau ingin memilikinya." Lena dapat melihat kedut di lehernya, "Aku yakin kalau dia belum bertunangan, kau ingin menidurinya juga."

Lena mendorong Ben sekuat tenaga, membuat lelaki itu terhuyung.

"Hanya karena kau bajingan yang meniduri tunangannya," Lena mendorong lagi, "bukan berarti aku akan melakukan hal yang sama dengan kakakmu."

Lena hendak meninju rahang Ben, namun serangan itu berhasil ditepis. "Tidak semua orang sejahat kau!"

Lena menghentakkan tangannya kesal. Tubuhnya mendidih. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya jalan agar masalah ini selesai adalah dengan memberitahu skandal adik dan tunangannya kepada Alex. Ia melangkah lebar-lebar ke arah pintu yang terkunci.

Ketika Lena berhasil membuka kunci dan pintu tengah terayun, tangan Ben menahan pintu. Lena membuka paksa, namun hanya membuat pintu itu bergetar.

"Apa kabar Mrs. Wyers? Aku dengar dia perlu operasi beberapa tulang yang patah." Lena merinding ketika Ben membisikkan hal ini ke telinganya, "Ah lupakan saja, bagaimana dengan Louisa? Kau tega membuatnya putus sekolah karena kau tak sanggup membiayainya?" Lena tahu Ben tengah tersenyum licik kini meski mereka sedang tidak berhadapan.

Lena membalikkan badannya, puncak kepalanya hampir menyentuh rahang Ben saking dekatnya mereka kini, "Bagaimana kau..."

"Tidak ada yang tidak kutahu tentangmu, Lena Wyers." Ben menyentuh rambut Lena yang keluar dari gelungan, menyelipkannya di belakang telinga dengan lembut nan mengancam, "Jika kau mampu menahan mulutmu yang lancang itu, akan kujamin ibumu ditangani oleh dokter terbaik dan adikmu dapat melanjutkan kuliah di universitas manapun yang dia mau."

"Apa?"

"Aku bilang," jemarinya menyentuh bibir Lena yang kini tengah bergetar, "Tutup mulutmu dan semua akan baik-baik saja."

Tetes air meluncur begitu deras di kedua pelupuk matanya yang buru-buru dihapus. Ia tidak ingin terlihat lemah. Ia tidak boleh lemah.

Berbagai gejolak emosi berkecamuk di dalam diri Lena. Ingin rasanya ia menantang ancaman Ben, tapi ia sadar ia bukan siapa-siapa. Ia bukan kaum bangsawan. Ia tidak bergelimang harta. Ia tidak punya apa-apa.

Lena tidak bisa membahayakan dan mengancam masa depan ibu dan adiknya begitu saja. Andai saja ia tidak memikirkan orang lain, andai saja yang ia pikirkan hanya diri sendiri. Andai saja...

"Apapun yang kau inginkan, Yang Mulia."

Lena membungkuk dalam, membalikkan badan serta membuka pintu. Meninggalkan Ben seorang diri tersenyum penuh kemenangan.

***

the Troublemaker PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang